![]() |
rencong.jpg |
: Rencong
ADA seribu pintu dan seribu jendela, tertutup rapat-rapat, menyerupai jeruji dilengkapi terali. Di dalamnya dipeti-es-kan seribu misteri, seribu gigil, seribu luka tak terucap. Aku membukanya tidak dengan maksud mengingatkan-mu pada seribu pembunuhan tanpa alasan, seribu perang tidak seimbang, seribu musibah dan wabah, seribu puteri yang tengah menangis di Negeri Serambi, di kala pagi sudah bau mesiu, siang diguncang prahara, malam sengak amis darah, di kala purnama penuh pengkhianatan.
Aku ikut terhenyak, dan lahirlah puisi ini: Santa, kenapa duka-mu tak pernah lelah memanjang, lebih hilir dari lahir, lebih luhur dari umur, lebih pekik dari pekak, lebih dari segalanya. Perih-mu tak bisa di banding-bandingkan. Nyeri itu nyata-nyata selalu menghardik raga-mu, merindukan uluhati-mu yang kehabisan ruang rasa. Maka ledakkanlah tangis-mu!
Apa dikata, yang kukuh telah rubuh, yang tegar berangsur renta, yang lalu sudah pulang, yang lusa tergesa menjelang. Aku menyibak pintu, menguak jendela. Mengemukalah suatu kenyataan yang bukan sekedar isapan. Rencong-mu lindap keramatnya, luruh tuahnya, lesak ajimatnya, dihisap lintah darat, dipatuk ular berkepala dua, dijarah elite yang lebih mungil namun amat degil, lebih semerbak namun betapa mengancam. Satu hati satu tujuan adalah utopia. Satu negara satu keadilan hanyalah propaganda. Yang terang ialah pukul garuk tumpas kelor. Maka gencarkanlah kesangsian-mu!
Menjelang penghujung 2004, bah menerjang tanah-mu yang sudah kerontang. Berjumlah-jumlah ikut hanyut. Mata dunia terbelalak menatap jenazah yang bergelimpang. Tangis kami yang menyayat, lebih nyaring dari ratapan-mu yang sesungguhnya. Lengkaplah sudah. Maka kobarkanlah kesabaran-mu!
Agustus tiba, Jumat datang. Sang khatib menyala-nyala di mimbar: Kita ini bersaudara. Namun ada yang satu dengan yang sebagian, harus berbantah-bantahan. Dan konon kita sudah menjadi pemenang. Negeri kita sudah merdeka. Tetapi benarkah jiwa-jiwa sudah merdeka? Maka jangan pernah berhenti melawan. Aku pun melawan pada kehidupan, sebab orang-orang bijak sudah turut memperbudak. Kutentang barang siapa yang menistakan saudara-saudaraku. Kupernyaring tangis-tangis yang lirih. Hutang gigi dibayar gigi. Selamat berjuang!
Dan sesungguhnya berjuang ialah meraih kebahagiaan. Wahai saudara-saudaraku, rebutlah kebahagiaan-mu. Asah kembali mustika rencong-mu. Tancapkan pada tanah, muasal segala akar. Biar gusar pudar dicecer, supaya gundah punah dimamah. Agar harap kelak bertunas. Dari sini, dari serambi sanubari, doaku memanjat ke mana langkah-mu menggeliat. Maka tegaskanlah perlawanan-mu!
Jakarta, 2005
No comments:
Post a Comment