![]() |
plaka.jpg |
: Plaka
BUKIT Mycenae suatu sore. Senja berkemas diwajah-mu, Wianta. Membuat-mu tambah kuning langsat dan sulit ditebak. Kau pun nampak lebih tambun dan makin keranjingan anggur. Tapi bukan persoalan. Toh matahari yang kalis akan kembali bangkit, atau hujan pasti reda seperti di Plaka. Kecuali cinta. Terus bergemuruh. Mengilhami para penyair. Namun mengapa puisi-mu lahir sebagai anak yang suka memberontak, hingga orang-orang tidak mengerti apa yang hendak kau maksud
Aku terpesona, melihat-mu menggoreskan serapah pada kanvas: Selamat tinggal kesengsaraan! Kulihat selanjutnya, horizon bukan sekedar cerlang. Hari sudah menjadi, bukan sekedar janji. Kau memiliki keajaiban memang. Seperti ‘anugrah tungku’ yang bisa menghasilkan keramik antik saat dikeluarkan dari pembakaran. Kita segera melongo melihat karya yang benar-benar ajaib, nyaris lupa diri. Tapi segera teringat dolar. Teringat rencana-rencana yang baru dituangkan dalam catatan. Atau puisi-puisi belum disalin, masih menggunung dalam bentuk manuskrip
Suatu hari kau membawaku ke gudang dokumentasi, menunjukkan coretan-coretan-mu. Dibuat tanpa rencana, lebih tepatnya, tak ada urusan dengan uang. Kau begitu telaten menatanya, rapih, dengan titimangsa yang runut. Aku teringat lagi korek api yang dijual di etalase toko, di Plaka, desainnya sangat antik, kupikir itulah produk lampau. Tetapi pramuniaga memajangnya dengan deretan yang menawan. Entah mengapa, orang-orang jadi memburunya. Memang, masa lalu tak berarti selalu usang dan buruk. Terjawab sudah, mengapa melalui karya-karya lawasmu-mu justru dolar mengalir deras ke rekening-mu
Kata-mu, kerahkan segala kemampuan. Buatlah persiapan, walau kenyataanya banyak kejadian harus dihadapi tanpa persiapan. Tetapi adakah orang yang mempersiapkan hidup? Kita lahir bahkan bukan atas kemauan sendiri. Namun bersyukurlah, toh kita bisa berjumpa, dan tertawa-tawa. Terakhir pesan-mu kepadaku: jangan kau hanya bertumpu pada dengkul-mu
Jakarta, 2005 - 2009
No comments:
Post a Comment