BERBAHAGIALAH karena orang-orang masih mencintai-mu setinggi langit sedalam laut. Jangan kau balas dengan kebencian.
Ini kota memang telah jatuh, sebelum Baghdad runtuh. Sebelum menara kembar tumbang di New York. Mungkin Washington akan luluh lantak, bersama amarah umat yang kian mengeras. Bersama gerhana yang mengekal.
Dulu di ngarai, anak-anak mengaji dan mengasah diri, bermain randai dan meniup saluang. Sebuah pegunungan yang dingin, berkelok dan menyihir, cenderung melahirkan pemikir dan penyair: Di Athena Aristoteles menjadi, di Bandung Bung Karno besar. Di rahim-mu bapak-bapakku tumbuh: Hatta dan Hamka. Yamin dan Salim. Syahrir di susul Natsir. Ya, bahkan pada saraf Tan Malaka mengalir darah Minang. Semua lahir untuk bangsa, semua bangkit untuk negara. Bapak-bapakku ikut memahatkan falsafah, turut mengibarkan Sang Saka.
Aku berdiri di jembatan Limpapeh, menekur di Ford de Kock. O Andalas yang jauh, ringkik kuda yang melindap, api perlawanan yang meredup. O para pahlawan, O Imam Bonjol, tahukah Tuan seperti apakah pewaris-mu kini.
Aku menelikung ke sejumlah kelokan. Jam Gadang yang mematung, lenyap di telan gunung. Lobang Jepang, seperti nganga rakyat yang tak berdaya. Ngarai Sianok yang lawas, apa kabar-mu.
Aku berdiri di antara Singgalang dan Merapi. Mencintai-mu sekuat tekad bapakku mendirikan Republik. Lalu angin senja berbaris, turun gunung, membasuh muka di Maninjau, berdoa di surau. Datang padaku sebagai prajurit siap tempur. Ditapisnya permukaan langit dari tenung, mendung, juga bau sirik dan jahil. Hingga terang-benderanglah wajah langit yang rupawan, secantik wajah-mu.
Ribuan ilham hijrah ke dalam tempurungku, menyentuh sukma. Pekik bapakku di medan tempur, di buku-buku, di meja perundingan, merambat, mengelus kudukku. Bulu roma bangkit. Aku tergetar: Ini negeri harus di bela.
Aku mencintai-mu, jangan kau balas dengan kebencian.
Jakarta, 2003
Sumber foto; hamikofebria.blogspot.com
No comments:
Post a Comment