Jakarta (1)

MEREKA datang padaku meloncat-loncat, tak ubahnya seekor kodok. Betapa kurang ajar dan tidak tahu tata susila. Mereka mendongak, mendesis-desis dengan air liur meleler, lalu dengan sok berwibawa, berkata, “Percayakan suara-mu kepadaku!”
        -Aku ingin menertawakannya, sepuas-puasnya, seperti melemparkan gelas kristal sekencang-kencangnya,hingga rumpang berkeping-keping. Makin keras gemerincingnya, makin nikmat aku mendengarnya.-
        Mereka lebih dari lancang dan benar-benar tidak tahu menghargai etika. Datang padaku dan meminta segalanya. Minta suara, minta jabatan yang basah, minta kursi yang empuk, minta keadilan ditegakkan. Terakhir dan yang paling menyebalkan, minta ¼ anggaran negara untuk menggajinya. Lalu apa kerjanya?.
        Pada dasarnya mereka orang-orang yang lamban lagi pemalas. Jalannya saja nampak seperti sedang menari bedaya. Tapi tak bisa dimungkiri, mereka pandai bersilat lidah. Itulah sebenarnya keahlian mereka. Selebihnya, petualang dan pialang.
        Sudah kuduga sebelumya, mereka mengganggapku gila dan mudah dikibuli. Ketika aku lengah, sebentaran saja, semua tatanan jadi berantakan.
        Sepeti anak kecil belajar berjalan, akan mengalami kejatuhan. Walau sakit dan menangis, akan bangkit lagi, berjalan lagi, dan lagi. Maka baiklah, kuanggap mereka sedang belajar jatuh-bangun dan dating padaku tertatih-tatih. Namun aku keliru, dan mereka benar-benar keterlaluan. Ternyata mereka hanya pura-pura jatuh untuk mengecoh. Ketika aku lengah, sebentaran saja, mereka sudah pindah tempat, berganti posisi. Kusaksikan mereka bukan meloncat-loncat,  tapi berlari sekencang-kencangnya, dan menjelmalah gedung-gedung menjulang, berdesak-desakan seperti berlomba mencakari langit. Dan tamak merasuk jatuh ke lubuknya, hingga tak bisa melihat tegal yang lapang. Tanah kosong disulap menjadi kebun beton, dengan menara-menara angker bak pohon palm.
        Sudah kuduga, mereka menganggapku gila dan berpikir aku bisa di tinggalkan. Kesalahanku paling nyata ialah bahwa aku sempat lengah. Lebih dari itu, aku terlalu percaya kepada mereka, sehingga dengan gampangnya kuberikan suaraku. Kuberi mereka kedudukan, dan kurelakan ¼ anggaran Negara untuk memuaskan selera tamaknya. Anjing!
        -Tapi aku tidak boleh bersedih, tidak boleh menangis. Melihat semua itu, aku harus tertawa sepuas-puasnya. Tentu saja, orang-orang sepertiku telah memupus kepercayaan kepada mereka. Dikiranya kami masih mengganggap mereka sebagai orang-orang terhormat. Tidak, mereka itu adalah bangsat.-


Jakarta, 2005


Sumber foto: tribunnews.com

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...