DI Silang Monas, aku mengawang lagi. Aku akan kembali tidur dua ratus lima puluh tujuh tahun. Sampai dinasti tujuh kali berganti. Sampai lenyap harap. Aku akan meneruskan mimpi, toh kota ini tercipta oleh dan untuk para pemimpi. Dan sebab hanya di dalam impian bisa berjumpa kesejatian. Hai nona manis yang minimalis, di dalam impian pula kita pernah bersua, bukan?
Di Silang Monas, kau terjun lalu berkeliaran jadi gula-gula kehidupan. Aku tahu, kau sedang menunggu Sang Waktu memberikan jawaban. Aku yakin, kau sedang menyindir dewa-dewa yang bersitahta di Pusat Kekuasaan. Tapi yang kau dapat segudang Tanya berikutnya. Kau sudah terjun. Sekali melangkah, susah pulang. Puas tidak puas, begitulah jawabannya, bukan?.
Di Silang Monas, aku merenung ke belakang. Menelisik. Mengapa pejabat takut beradu tanduk, miris menghadapi taji, rumpang disinggung taring. Kucabut saja tandukku, kugergaji taji, kubanting taring. Sebab yang kuharap bukan ketakutan tetapi rasa segan. Yang didambakan setiap manusia ialah tabik yang asli, salut yang patut, hormat yang tepat. Jika demikian, adakah pejabat bisa digolongkan manusia, tanya-mu, bukan?
Di Silang Monas, bagaimanapun aku harus berterimakasih kepada-mu yang telah ikut menggulingkan sang tiran, memilihkan anggota DPR dan Presiden. Selanjutnya, aku ingin melihat-mu hidup tentram, beribadat dengan tenang, memiliki jaminan hari tua, anak-anak bisa bersekolah dan menjadi pejabat yang tidak bejat. Sungguh aku berterima kasih, sedikit saja yang kurang dari-mu, kau tak bisa menurunkan harga-harga. Aku pun bimbang, akankah nasib bersahabat dan kau benar-benar berdaulat. Aku mengerti kau ingin bisa memijak dengan kukuh dan tangguh. Sungguh tak cukup bermodalkan niat yang bulat. Harus juga liat, kuat, dan nekat, bukan?.
Di Silang Monas aku melihat bulan kuning lesi lenyap dalam gumpalan asap. Aku mencium tuba pengkhianatan. Aku tahu orang-orang seperti Allende, Loppa, atau Munir, dan ada segelintir lagi, adalah pembela kalian. Tetapi mereka yang berkiprah melawan bromocorah selalu berhasil diberangus, lalu digerus. Kalian kian kesepian, bukan?
Tentu saja aku marah dan ingin menyikat si laknat. Aku ingin membalaskan dendam untuk-mu. Tetapi di Silang Monas pula kudengar suara yang berulang-ulang menggaung: Dendam yang diumbar ialah takabur. Tabah, tabah, tabah!
Jakarta, 2005
Sumber foto: pondok-hamzah.blogspot.com
No comments:
Post a Comment