: Momento Partere
Juga bukit berikut kabut, sebagaimana tersurat dan tersirat dalam berlaksa sanjak dari Australia, masih berbanjar dan berzikir seraya berkabar tentang Maret yang surut atau April yang muncul. Tempo itu, di bawah beringin yang dingin, disaksikan gedung putih yang angkuh, sebatang lilin bunuh diri, udara bicara, gerimis menitis, tapi kita tak peduli, di kemurahan cakrawala yang terbuka, lelaplah lelah tubuh, lalu kudengar kau mengigau: Aku ingin mengawinkan musim demi musim, beranak-pinak jadi sanjak yang beriak. Aku ingin merajah kata jadi mantra, yang menyulapku selalu bahagia.
Anwar, adapun kata yang kau tata, sebermula ialah “tentang ketika”, yakni ketika sunyi bernyanyi, senyap mengendap, cinta tak bermuara, lalu putaran waktu kau campur dengan racun lambung dan kopi tangerang cap tikus, jadilah barik-barik puisi yang berhasil menaklukkan surat kabar lokal. Aku mengaji puisi-mu, teraba ada iba yang meratap-ratap. Oh aku kasihan sekaligus cemburu, menderu seperti angin Lembang yang bergulung-gulung.
Aku murung lalu pulang, menjinjing iri dan janji: beri aku waktu!
Waktu berlalu, dan pada magrib yang keseribu, diantar malaikat pencatat, aku anak gunung, berpayung mendung, menembus kelam yang muram, membawa sebongkah gelisah, datang ke dangau-mu, bicara lantang tentang rinduku pada pohon jambu, berikrar akan menghajar kaum yang ingkar dengan kata yang berbirahi, didamar dari lendir, disepuh dengan peluh, dan aku berseloroh lirih: aku ingin bertaji seperti Sutardji, beraura seperti Rendra.
Lalu kau memcerna dan menghina: Ini bukan puisi, ini kutipan kitab suci. Jadilah diri-mu, dan janganlah menjelma rasul yang palsu!
Sejak itu, kita jarang bersua apalagi berkelana, kecuali berwisata ke Surabaya atau terkutuk di Cirebon. Yah, kita pernah merasa bego di Solo dan tertegun di Rawamangun. Seperti anak-anak sungai, masing-masing kita hanyut ke muara terjanji, menjalar bersama alur takdir. Tapi kudengar kemudian, seorang nabi palsu yang sedang mencari pengikut, berhasil mejerat-mu dengan ongol-ongol dan gemblong, menyihir-mu jadi serdadu sesiaga laut sesigap langit. Ada kuhawatirkan kau akan di-romusha-kan, yang harus melata-lata sebagai pekerja rodi. Ternyata, itu benar belaka.
Pekerjaan-mu ialah jungkir-balik membolak-balik kata jadi mantra. Setelah kau lelah, terciptalah mantra paling mustajab, menyihir malaikat pencatat jadi malaikat maut. Sebelum subuh bertasbih, ia menjemput-mu.
Anwar, apa yang kugali-gali dalam diri, ternyata benar bukanlah puisi, tapi saripati kitab suci. Ya, kitab suci yang kesepian karena kehilangan penafsir dan pencela. Sebagai rasul yang palsu, aku menggubah madah, semacam petatah-petitih sepenuh tuah. Dengan kerinduan yang menggebu seperti angin yang menderu, tanpa disaksikan beringin yang dingin atau gedung putih yang angkuh, kupahatkan untuk-mu di hati yang paling kanan, selarik rajah penolak bala: Moga kau selalu bahagia, kapanpun!
Jakarta, 2010
oh anwar, cepat sekali kau pergi. aku kehilangan.
ReplyDelete