Tegalayung

SEBATANG sungai mengalir di Bali. Di sebuah lengkungan yang gemuk dan tambun, nenek-nenekku seperti bangkit dari kuburan, bertelanjang dada, menjadi pemuda perkasa. Menyelam di air yang cokelat, mengeruk pasir untuk menbangun perut tengkulak yang kian merangkak. Sebuah eretan yang ditinggalkan Belanda, memenjara hidup mereka jadi buruh sepanjang hayat.
    Di tegalayung tak ada lelaki tak ada perempuan. Semua yang berotot kekar berotot kerempeng, menjadi budak dan tumbal. Aku malu sebab hanya mampu mengingat-mu yang jauh, mengenakan kerudung putih. Bibir-mu yang sedikit ikal dilaburi lipstick merah marun. Buah dada-mu yang masih perawan, di dalam tahap penyempurnaan, bagai tertegun di siang hari, di sebuah halte, di dekat terminal bus yang hiruk-pikuk. Aku terlena. Padahal para pejabat sedang memasang siasat, para srigala kembali mengenakan bulu domba, menyeduh kata-kata menjadi tuak, dan rakyat akan mabuk
    Seperti di Rusia saat dipimpin Tsar yang puritan, revolusi bergentayangan di batok kepala anak-anak muda. Revolusi pecah ketika di istana para penguasa pesta anggur, sementara di jalanan bocah-bocah mengembik, ibu-ibu memohon beras, para pemuda meminta keadilan, sedang kekuasan sungguh tuli lagi enggan
    Ke arah hilir yang terbelah dua, aku melihat lobang-lobang Jepang, terkubur dan sunyi, dan arwah-arwah romusha berjaga-jaga di pintu masuk. Kubuka pengupingan, terdengar ricik air, terkenanglah pahit-getir moyangku. O Nusantara yang gelap, terbelakang, binasa, dan hina


Jakarta, 2004

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...