LAZUARDI takjim. Senyap. Tak kutemukan cakra, juga bercak, keseluruhannya bening, mendekati biru. Kecuali sejumput sulur-sulur kecokelatan, merumbai entah apa, dipermainkan cahaya di barat, ketika maghrib merias diri. Lembaran-lembaran putih transparan membalut lehernya yang jenjang, nyaris menyerupai seragam kantor-mu. Ingin kuhadiahkan kepada-mu kerudung bersulam putih salju, supaya sempurna kecantikan, dan tak akan pernah kuucapkan selamat tinggal
Langit bersih. Jelaga hanya bersendawa di kandangnya. Sebagai makhluk nahas, berjejal-jejal seperti buruh dalam gerbong kereta api listrik jurusan Bogor – Kota, Tanah Abang – Rangkasbitung. Di lain tempat, di laut yang juga biru, matahari berbadan dua: Akan lahir pelangi dan ledakan-ledakan. Mimpi-mimpi akan bersirip, berenang ke nun jauh. Ikan-ikan akan bernyanyi, menyelami palung kehidupan. Semuanya berhimpun dalam sebuah ikrar, ketika Tuhan menawarkan agama kepada margasatwa, kepada gunung, bahkan kepada batu. Kuinginkan suatu hari kita pun membuat perjanjian, di sebuah bukit seperti Musa dengan Sang Takdir. Kuharapkan tak akan pernah meletus revolusi, sebagaimana kuangankan para koruptor segera dikirim ke rumah jagal
Di Mycenae Jumat sama saja dengan Senin. Dan kota-kota tidak memiliki jadual adzan, sekalipun banyak lelaki berjubah. Kubawa potret lelaki berjubah itu. Anakku bilang, wow, mirip peri yang baik hati. Memang ada jejak ayat pada taperil, pada marmer yang telah berurat, pada rasa yang berlarat-larat, tak terjangkau. Pada peperangan yang tercatat sebelum Yesus bangkit di Yerussalem. Mungkin di zaman Elijah, mungkin umat Musa, bisa jadi jauh sebelum Nuh, sejarah itu telah terpahat di sana, dan kubaca: Perang dan doa, dan agama, berdampingan
Kecerian menjadi milik orang-orang bersih, di manapun. Tapi kehidupan tidak akan pernah mencapai sempurna, sekalipun semua perempuan dilahirkan sebagai putri yang jelita. Perang tetap akan meletus sepanjang zaman. Sebab ia gula-gula sejarah. Sebab ada lelaki. Darah prajurit akan tumpah, membasuh tanah hingga kembali gembur. Adakah pohon-pohon di Sangkuriang bercerita kepada-mu mengenai kota peninggalan Pajajaran yang tertimbun di pedalaman, disembunyikan dari kebengisan, diselamatkan dari anarki
Tak ada yang mengerti, sebagaimana juga cara orang-orang Zulu berperang melawan Inggris, tak bisa kupahami: mereka menyambut kelahiran dan menyosong kematian, sama riangnya. Lagu-lagu di kumandangkan. Maklumat diteriakkan. Sebuah requiem pada akhirnya dimanapun bernada sama; mengetarkan bulu kuduk
Aku melihat Amerika mengeluarkan anak-anak dari dalam kelas, suami-suami direnggut dari anak-istri, semuanya untuk perang melawan Vietnam, dan sebuah bukit mengabadikan arwah mereka. Dari kedalaman masa lalu, dapat kudengar jerit kesakitan prajurit yang terbantai, angin mengutarakannya seperti tape memutar kaset rekaman: Sejarah diukur dengan dendam
Jakarta, 2004
No comments:
Post a Comment