Traktat 05

Benarkah ada satu harga yang mesti kita bela? Apakah itu?

Siang tidak pernah menghardik sekalipun terik mencekik. Perasaan yang murung membuat segala terasa menyiksa. Aku jadi gelisah. Pada keraguan yang menggenang, aku merenung ulang. Apa benar aku harus menjadi pembela ketika semua yang harus dibela sudah tidak membutuhkan pembelaan, ketika orang yang membutuhkan dukungan menolak ungkapan perhatian karena takut dicap oportunis?

Ini sama mengerikannya sekaligus menggelikannya dengan seseorang yang mengaku pembela Tuhan, tetapi kemudian menjelma sang tiran atas nama kebenaran. Aneh, karena sesungguhnya Tuhan lebih pandai bela diri.

Sore lingsir, dan terasa begitu tergesa jadi petang. Di hadapanku seorang kurator (istilah kurator sebaiknya diterapkan dalam seni rupa saja), yang cukup melintang, melanglang lebih dari 20 tahun, dengan khusyuk menakar kaidah estetika, tentu tidak ketinggalan terlibat bersengkarut dengan orang-orang linglung yang saling-silang, setelah lelah berkisah tentang untung atau utang yang belum rampung, coba menghiburku dengan kebijaksanaan kuratorialnya, coba menjelas-tegaskan, lalu mengusulkan jawaban justru dengan mengajukan pertanyaan: Apakah Anda pernah mengukir sebentuk nilai di sebalik mimpi? Itulah yang mesti kita bela!

Seperti ketua umum partai politik menjelang pemilu, aku tambah gelisah. Sepi rajin menjenguk batinku. Begitu malam tiba, segera aku menyusup ke ceruk kesunyian. Aku murung. Muram. Mataku lebih kelam dari kali Ciliwung. Tapi aku tetap manusia, sehingga aku bertanya, adakah yang berkenan menjadi pahlawan untukku?

Aku hanya merasakan ada getar yang memberikan jawaban, jawaban yang belum menghiburku: laut menderu, menegurku dengan ombaknya, gunung membisu, menegurku dengan diamnya, angin berseloroh, menegurku dengan pengembaraannya, dan kau menegurku dengan sikap yang tegas: Tidak ada ruangan di batinku untuk-mu berlindung hai anak malang.

Aku linglung. Benar-benar bingung. Pergi ke jalan, jalanan telah dikepung para pembohong. Bahkan aku begitu bodoh membedakan mereka yang mengibarkan panji-panji di jalanan, apakah mereka itu orang partai, pendukung kesebelasan Persija, atau Front Pembela Agama?

Jalanan jadi macet, membuat penat dan otot mengerut. Aku ingin bertobat dari rasa penat. Maka aku melawat ke rumah ibadat. Di rumah ibadat, kudengar ulama sedang berkoar-koar, bahwa musuh Tuhan telah merajalela: Barangsiapa yang tidak se-ikhwan, boleh disembelih. Barangsiapa yang tidak menunaikan zakat, dapat disikat. Lalu setelah itu, ulama itu, mengeluarkan kuitansi honorarium yang harus dibayar oleh umat. Bajingan!

Aku pergi ke rumah bordil, di sana kudengar para politikus sedang bersabda tentang Yesus yang menyayangi para pelacur. Dan mereka berujar, semua partai adalah pengkhianat rakyat, hanya partai kami yang paling benar, memberi restu kepada para penjaja cinta. Lalu setelah itu, mereka buktikan ucapannya: Memborong cinta di rumah pelacuran. Oh!

Lalu aku coba pergi ke hati-mu. Namun tidak dapat kujangkau.

Aku bukan Muhmmad yang sebatang kara sejak belia, bukan Yesus tanpa pendamping, bukan Hidir tanpa santri, tapi aku merasa sendiri, melawan angin dan entah apa. Tiba-tiba tubuhku gemetar, hatiku tergetar, aku pun berteriak begitu pekak, sekarat laksana ternak digorok: Aku ingin berbuat baik, tidak untuk orang lain, untuk diriku belaka.

Subuh jatuh, fajar berkibar, aku terus berkoar-koar di trotoar. Tiba-tiba aku bertemu Friedrich Nietzsche, dan ia menyapaku dengan begitu santun: Hai Doddi, Tuhan telah mati! Berhentilah berkoar-koar mewartakan kebaikan yang sudah atau masih ingin kau tunaikan. Betapa lugu kamu: Karena sesungguhnya tidak ada yang namanya kebaikan itu. Kebaikan yang dikoar-koarkan tidak lebih dari kejahatan yang disembunyikan.

Jakarta, 2009

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...