Juga setelah memeriksa ulang catatan tentang Tuhan, Tahun, Hutan, Hantu, dan orang-orang yang menggiurkan atau memuakkan, begitupun tentang segala kemungkinan. Kupelajari arah angin dan gelagat musim yang berubah drastis, kuukur suhu udara dan tekanan gravitasi bumi yang mencemaskan, kutimbang nilai sebidang tanah dan harga seliter air yang menjadi kabar terpercaya bahwa peradaban sudah tidak bisa dikendalikan. Tetapi aku merasa masih selalu belia, seperti dulu ketika mengagumi lembayung dan kunang-kunang, fajar dan pelangi. Juga kuhayati kata-kata-mu. Akhirnya aku membuat kesimpulan: aku hanya berhak menulis puisi.
Baiklah sayangku, aku akan menulis puisi saja, dengan suatu pertanyaan yang sangat naïf: benarkah takdirku hanya boleh menulis puisi ketika aku ingin menjadi Presiden atau Sekjen PBB, ketika aku ingin memetik bintang atau menggapai rembulan, ketika aku ingin memugar gunung atau membuat candi, ketika aku ingin melompat jauh ke depan atau melesat ke angkasa, bahkan ketika aku ingin mencintai-mu.
Maka kini aku harus berhadap-hadapan kembali dengan pemahaman tentang takdir, dengan ujian dari yang namanya takdir, dengan suatu kenyataan bahwa takdir terbaik untukku ialah bersabar.
Aku akan selalu belajar bersabar sayangku. Tetapi, aku tidak perlu minta izin dari-mu untuk jeda dari gemuruh perasaan, bukan? Aku tidak perlu minta persetujuan dari-mu untuk koma dari paragraf yang belum rampung kutulis, bukan?
Kekasih, tetapi sebagai orang awam aku akan bertanya kepada-mu tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh kuperbuat. Aku tahu, bukan saja boleh, tetapi menjadi keharusanku untuk mencitai kehidupan ini, mencintai setiap makhluk, mencintai kebaikan dan keburukan. Juga mencintai-mu. Tunjukkan kepadaku yang awam ini, di mana aku harus menempatkan diri, dan bagaimana aku harus menempatkan diri. Tunjukkan padaku arah langkah yang benar untuk kutempuh. Tunjukkan kepadaku cara-cara yang beradab untuk mencintai segala yang mesti menurut takdir, untuk kucintai.
Baiklah sayangku, kuterima kenyataan takdirku ialah aku hanya berhak menulis puisi. Maka inilah sepenggal puisi yang kutulis untuk-mu, kepada-mu: Aku cinta pada-mu.
Jakarta, Februari 2009
No comments:
Post a Comment