Traktat 04

Kau marah kepadaku, juga ibuku, ibu kita Kartini, Sarinah, Femina, Dewi, ketika kupukul rata semua perempuan cenderung menjadi pelacur sedang lelaki selalu ingin menjadi nabi palsu. Lihatlah dalam-dalam ke dalam kenyataan, diterpa angin peradaban yang berhembus buas, bendera perasaan-mu berkibar-kibar telalu kencang, hingga robek bagai dicabik-cabik. Perasaan-mu jadi tidak berbentuk. Pernyataan ini membuat-mu marah dan menudingku sinting, bukan?

Kenapa manusia sudah begitu kasar lagi keblinger.

Ibuku ikut-ikutan marah: hey anak yang susah diatur, pergilah ke rimba belaka, ke hutan kemungkinan, kau hidup terlalu bersandar pada kata ‘mungkin’. Tiada tempat dalam kekinian untuk mereka yang berpikir mungkin. Pergilah ke alam mimpi, di situlah dunia yang adil untuk-mu.

Ibu, aku menyayangi-mu, maka salamat tinggal: aku hijrah ke negeri mimpi.

Cinta, aku juga menyangi-mu. Maka selamat tinggal, moga kesejahteraan dan kebahagiaan selalu menyertai-mu. Aku mencintai-mu sampai berdenyut-denyut di dalam ubun-ubun, terbawa-bawa ke dalam tidur, walau aku sadar perasaanku ini mungkin tertuju ke alamat yang keliru.

Aku mencintai-mu. Bahwa tentu hal itu akan kutunaikan dengan sepenuh harap, juga dengan keniscayaan, bakal kuasah terus-menerus hingga mengkilap, memancar, berkobar-kobar, menerangi mereka yang meraba-raba dalam gulita. Sesungguhnya manusia yang paling buruk di muka bumi ialah yang telah punah marwah, patah gairah, lindap harap. Gelap!

Juga aku mencintai-mu dengan suatu tekad bahwa setiap penduduk bakal memiliki jaminan kepastian bisa mewujudkan cita-citanya, juga cintanya, juga dengan kemestian bahwa setiap dalil yang disabdakan harus ditopang oleh alasan yang waras, dan atau bahwa setiap ucapan para politikus umumya asal ucap.

Dengarkanlah secara seksama, mereka berpidato di mimbar tentang memelihara persatuan dan kesatuan tanpa menguraikan metodanya, atau menjamin harga sembako bakal turun tanpa analisis yang memadai. Apakah kau sepakat mereka yang sedang mengiklankan harga dirinya itu ialah pelacur?

Kini aku berjalan dan terus berjalan hingga mendekati daerah mimpi. Oh, betapa aku kalut dan tersulut oleh pamphlet penyamun, pencoleng, penggarong, penculik, perampok, perompak, penipu, penjagal rakyat, yang tiba-tiba mengaku menjadi nabi, tanpa pernah bertobat, tanpa pernah menyatakan telah menjadi mantan mantan penyamun, mantan pencoleng, mantan penggarong, mantan penculik, mantan perampok, mantan perompak, mantan penipu, mantan penjagal rakyat, dan dengan suara bulat lagi berat mereka berkampanye: Di tangaku ada kunci untuk membuka pintu sorga, berjemaahlah dalam barisan partaiku!

Orang-orang tengah mengabiskan rasa penasaran yang berlebihan, bahwa mereka bakal bisa menyulap kekeruhan jadi air jenih, suci dan murni, sejuk nan teduh. Tapi bagaimana aku bisa percaya kalau mereka tidak pernah menyatakan bertaubat, insyaf dari kebiasaan menyamun, mencoleng, menggarong, menculik, merampok, merompak, menipu, menjagal rakyat?

Kini aku telah sampai di negeri mimpi. Ibu, ternyata penghuninya sama saja: Orang-orang menghabiskan rasa penasaran dengan harapan yang membuncah-buncah, bahwa benih yang mereka tanam kelak berbuah kebajikan. Orang-orang dengan terang-terangan mengaku telah menjelma jadi seorang narsisus yang agung. Apakah mereka juga menduga si narsis itu ialah Rasul Akhir Jaman?

Aku menjerit, memaki, lalu mencela kesana kemari, dan seperti domba muda gemar mengasah tanduk, kuhajar orang-orang liar itu dengan suatu seruan: Hey pelacur, berapa harga-mu?

Mereka marah. Menggamparku. Aku pingsan bertahun-tahun.

Kini aku siuman. Lalu aku melihat-mu, tapi hanya melihat-mu, sebab aku tak bisa lagi berkata-kata. Aku hanya melihat-mu, melihat pohon tumbuh tidak tergesa-gesa, air mengalir ke hilir, anjing berbahagia bila bisa setia kepada majikan, namun kucing berbahagia bila bisa mencuri, sedang aku berbahagia karena bisa mengirimkan perasaanku kepada-mu dengan harapan, moga tidak salah alamat.

Jakarta, 2009.

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...