Tomang

PADA amar keputusan-mu negara membutuhkan jalan bebas hambatan, agar pintas hasrat, lalu mimpi benar-benar terbukti: Kota mandiri yang asri. Selanjutnya, tiada ampun bagi-mu hai benalu: Gubuk-gubuk akan digaruk, lapak dilabarak, kecoa dipalu. Tinggal tanah yang lapang, awal dari modal, disulap jadi hutan beton. Lalu niat di timbang. Untung dihitung. Namun entah mengapa, pikiran-mu selalu saja meliuk-liuk seperti ular, dengan naluri Adam Lama: Hedonistis
    Itulah muasal silang-sengkarut pikiran-mu, lebih sungsang dari carut-marut lalulintas Jakarta. Kau memang kacau dan hanya pandai meracau. Dari tangan-mu yang kemudian tersirat ialah tirani, yang tersurat adalah bala. Lalu perantau yang galau, pengungsi abadi, bermigrasi ke pinggir kali, beranak-pinak serupa reptilia. Merambat ke mana-mana, melata di stopan. Mendesis-desis, menggelitik uluhati. Kau merasakannya lebih perih dari duri dalam daging, bukan?
    Di antara tiang pancang dan pilar-pilar menjalar, aku benar-benar mengkerut seperti bank yang bangkrut. Dan aku melihat sukma-sukma yang mengerdil, berkubang gincu di antara delapan menara yang mencangkung. Aku mencium bau candu yang akut, merasakan birahi yang masih bugar sedang menjalar. Membuat lengah orang-orang: Ulama juga kiyai akan mabuk, hingga bertekuk lutut jadi budak partai, artis dan selebritis akan terus melacur. Semua akan silaf, jadi beriman pada benda-benda
    Tetapi syukurlah, toh aku masih memiliki kamu. Kau yang berkilauan, lamat-lamat mengentaskan sukma. Meretaskan pikiran. Segera kugelar tikar, berwudlu debu: Ini kepasrahanku. Terimalah segala kesah: Aku masih mencintai-mu



Jakarta, 2005
BACA SELENGKAPNYA

Tegalayung

SEBATANG sungai mengalir di Bali. Di sebuah lengkungan yang gemuk dan tambun, nenek-nenekku seperti bangkit dari kuburan, bertelanjang dada, menjadi pemuda perkasa. Menyelam di air yang cokelat, mengeruk pasir untuk menbangun perut tengkulak yang kian merangkak. Sebuah eretan yang ditinggalkan Belanda, memenjara hidup mereka jadi buruh sepanjang hayat.
    Di tegalayung tak ada lelaki tak ada perempuan. Semua yang berotot kekar berotot kerempeng, menjadi budak dan tumbal. Aku malu sebab hanya mampu mengingat-mu yang jauh, mengenakan kerudung putih. Bibir-mu yang sedikit ikal dilaburi lipstick merah marun. Buah dada-mu yang masih perawan, di dalam tahap penyempurnaan, bagai tertegun di siang hari, di sebuah halte, di dekat terminal bus yang hiruk-pikuk. Aku terlena. Padahal para pejabat sedang memasang siasat, para srigala kembali mengenakan bulu domba, menyeduh kata-kata menjadi tuak, dan rakyat akan mabuk
    Seperti di Rusia saat dipimpin Tsar yang puritan, revolusi bergentayangan di batok kepala anak-anak muda. Revolusi pecah ketika di istana para penguasa pesta anggur, sementara di jalanan bocah-bocah mengembik, ibu-ibu memohon beras, para pemuda meminta keadilan, sedang kekuasan sungguh tuli lagi enggan
    Ke arah hilir yang terbelah dua, aku melihat lobang-lobang Jepang, terkubur dan sunyi, dan arwah-arwah romusha berjaga-jaga di pintu masuk. Kubuka pengupingan, terdengar ricik air, terkenanglah pahit-getir moyangku. O Nusantara yang gelap, terbelakang, binasa, dan hina


Jakarta, 2004
BACA SELENGKAPNYA

Swan River

AKU pernah melihat perut sungai yang ajaib itu dari ketinggian King’s Park. Di suatu malam yang sarat firasat, ketika anjing letih menggonggongi sunyi. Ketika orang-orang menahan gejolak, setelah letih menggempur, lalu menyalakan lampion pengusir gundah. Merebaklah cahaya di sepanjang bibir sungai. Tampak dari kejauhan, setelah kuteliti setiap cahaya yang mengucap, sungai itu tiada lain memang berbentuk tubuh angsa. Kupikir, Tuhan selalu menciptakan karya yang ajaib. Begitu juga suara-mu di Kota Angsa, terdengar betapa ajaib. Suara-mu sejernih telaga, membawaku berhadap-hadapan dengan pemahaman baru: Tuhan menciptakan pantangan karena kasihan kepada manusia
    Maka aku pun pantang menyerah. Akhirnya bertemu dengan-mu, di suatu sore, di Plaza Senayan, di mana teori Marxist benar-benar terkubur. Tak seorang pun tergugah untuk sekedar mengenangkannya. Dunia pun menjadi gaduh, kepalsuan merebak, nafsu bergemuruh, dan manusia semakin kerasukan oleh sesuatu yang bernama kebebasan
    Atas nama kebebasan, tak ada yang bisa membendung-mu, apalagi hanya seorang penyair. Penyair dilahirkan untuk menambah jumlah pemimpi dengan nasib tak digubris. Maka kudengarkan saja kau mengikrarkan janji-janji: Aku akan membimbing-mu mendekat ke sorga!
    Sorga itu tidak ada. Tapi kudengarkan saja kau meracau. Mengulang janji-janji yang dulu juga. Kuiyakan saja, meski sadar hanya sekedar isapan. Toh aku sudah terbiasa dikibuli. Dan golongan yang paling banyak mengucapakan janji namun mengingkarinya ialah pemerintah. Maka lihatlah, berjubal-jubal rakyat sakit hati, berbondong-bondong memberontak. Bersama mereka, aku ikut membangkang
    Sampailah pembangkanganku pada sesuatu yang mereka sebut makar. Mereka terapkan siasat untuk memadamkan, termasuk memadamkan cintaku pada Tanah Air. Padahal kita semua tahu, sesungguhnya siapa yang telah mengkhianati amanat, siapa yang merusak bangsa, siapa yang menggerogoti kekayaan Negara? Itulah yang membuatku emosional dan liar. Pernah terlintas untuk membalaskan kebohongan mereka dengan kekerasan, mengganti utang mereka dengan pencemaran nama baik. Tapi segera aku tersadar, Tuhan yang Maha Ajaib itu, yang akan menuntaskan segala soal, bersabda padaku: Sabar, sabar, sabar!



Jakarta. 2005
BACA SELENGKAPNYA

Srengseng

SETIAP waktu kubenahi kamarku. Buku-buku tanpa gerak dan kehendak, berbanjar di dalam rak. Pada meja duduk, laptop dan combo memberikan pemandangan lain. Patung-patung mini dan plakat bercengkrama di bagian sudut, bersembunyi dari jangkauan. Ada sejumlah kaset, kitab suci, kamus, lembaran-lembaran foto yang selalu mengingatkan pada kisah lama. Aku memang masih menyimpan sejumlah kenangan, mengamankan beberapa kardus pembungkus, instrumen musik, lukisan-lukisan belum rampung, kasur cadangan, miniatur kubah dari Bahrain, asbak keramik, bahkan sarang rayap yang meruyak
    Kemudian sebuah letupan, proposal, pemberontakan, kesal, rindu, cemas, SMS, email, datang dan pergi berjejal-jejal. Meletup-letup. Seperti banjir bandang menghantam Jakarta di awal 2002. Hilir-mudik dengan takdirnya masing-masing, dan terasa puisi menjadi rumah yang gaduh. Aku kehabisan kata-kata. Tanpa wujud-mu kamarku teras sumpek
    (Tuan putri pernah mengacungkan tinjunya kepadaku di sebuah taman). Layangkan lagi tinju-mu sebab aku rindu pukulan. Haus lecutan. Aku ingin mencerap kesakitan. Ingin meraung, merasakan lagi mabuk kepayang. Hingga igauanku menjelma sebait traktat untuk memproklamasikan berdirinya sebuah negara
    Aku pasti berbahagia. Kau akan datang ke rumahku, telanjang dan suci, sambil mengibarkan panji-panji kebersamaan. Lalu melongok ke luar jendela, mengamati musim bersalin musim, menyaksikan angin menari di dedaunan, berkebun dalam pot, menanak hari dan menjerang malam, kulahap sebagai puisi yang lahir bukan dari pena penyair
    Supaya cemasku tidak bergumpal-gumpal, supaya tangis di ujung malam, di kolong jembatan, mendapatkan hiburan. Dan anak-anak yang tumbuh di jalanan, tidak lagi bergentayangan seperti hantu cilik, dan para sukarelawan berdatangan sebagai pahlawan yang sesungguhnya, dan bendera bangsaku kembali berkibar, datanglah sesuai janji-mu
    Di kamar, aku hanyut dalam kumparan waktu, mengaji diri dan mengasah belati. Sayang, mendekatlah, atau kuhujamkan ke jantung-mu


Jakarta, 2004
BACA SELENGKAPNYA

Selepas Dubai

MENDEKATI Esfahan, sebuah daerah tanpa arah, tempat salju tertidur di punuk gurun, kurasakan sebuah kekuasaan sedang mengekalkan kehendaknya. Kulihat orang-orang Arab belajar membuat tembikar, menyulap gurun pasir jadi petakan sawah. Kukira terbangku cukup jauh, hingga hayalku membumbung. Lagi-lagi kusongsong kerajaan awan yang berdaulat di langit. Di bawahnya sebuah kota terkubur, seperti juga diri-mu telah terkubur di dasar hatiku yang berkeping-keping. Puisi ini kutulis sebagai batu nisan peristirahatan-mu dari pengejaranku. Aku berjanji tidak akan pernah menziarahinya. Supaya pupus harap, agar damai hidup. Selamat jalan gadis berkumis tipis
    Dari jendela pesawat aku melihat cakrawala tiada tara. Sebuah gunung menjulag, agung tetapi terancam. Persis takdir bangsaku kini, merdeka namun merana. Kukira itulah penanda negeri Kaukasus: Tanah dari bangsa yang sedang meratap. Asal kau tahu, putri-putri mereka, dengan sayap merah jambu, beterbangan ke berbagai manca. Menjadi gula-gula saat kudapan, jadi gundik di balik bilik. Dan tidak lebih berarti dari kancing baju
    Aku jadi teringat orang-orang Betawi yang sengsara. Bahkan di Jakarta, merekalah minoritas. Teraniaya oleh kerumunan hewan primata yang bermutasi jadi manusia. Tubuhnya memang telah berjalan tegap, tetapi baru sampai pada Adam Lama: Seandainya bertembolok, kita akan melihat leher-leher yang bunting. Lebih dari itu, mereka adalah kaum yang dimurka. Sebab picik dan sinis, karena tamak lagi loba
    Aku juga teringat orang-orang Aceh dan Papua: Orang-orang yang menjadi beranda di barat, jadi dapur di timur. Orang-orang yang merindukan merdeka, entah dari apa entah dari siapa. Padahal di antara sesama, mereka main tubruk, saling sikut. Di luar semua itu, lebih sial dari orang Jawa. Tetapi di Dubai, aku bertemu sejumlah orang Jawa yang sial: Jadi budak sepanjang masa


Jakarta, 2005
BACA SELENGKAPNYA

Mycenae

LAZUARDI takjim. Senyap. Tak kutemukan cakra, juga bercak, keseluruhannya bening, mendekati biru. Kecuali sejumput sulur-sulur kecokelatan, merumbai entah apa, dipermainkan cahaya di barat, ketika maghrib merias diri. Lembaran-lembaran putih transparan membalut lehernya yang jenjang, nyaris menyerupai seragam kantor-mu. Ingin kuhadiahkan kepada-mu kerudung bersulam putih salju, supaya sempurna kecantikan, dan tak akan pernah kuucapkan selamat tinggal
    Langit bersih. Jelaga hanya bersendawa di kandangnya. Sebagai makhluk nahas, berjejal-jejal seperti buruh dalam gerbong kereta api listrik jurusan Bogor – Kota, Tanah Abang – Rangkasbitung. Di lain tempat, di laut yang juga biru, matahari berbadan dua: Akan lahir pelangi dan ledakan-ledakan. Mimpi-mimpi akan bersirip, berenang ke nun jauh. Ikan-ikan akan bernyanyi, menyelami palung kehidupan. Semuanya berhimpun dalam sebuah ikrar, ketika Tuhan menawarkan agama kepada margasatwa, kepada gunung, bahkan kepada batu. Kuinginkan suatu hari kita pun membuat perjanjian, di sebuah bukit seperti Musa dengan Sang Takdir. Kuharapkan tak akan pernah meletus revolusi, sebagaimana kuangankan para koruptor segera dikirim ke rumah jagal
    Di Mycenae Jumat sama saja dengan Senin. Dan kota-kota tidak memiliki jadual adzan, sekalipun banyak lelaki berjubah. Kubawa potret lelaki berjubah itu. Anakku bilang, wow, mirip peri yang baik hati. Memang ada jejak ayat pada taperil, pada marmer yang telah berurat, pada rasa yang berlarat-larat, tak terjangkau. Pada peperangan yang tercatat sebelum Yesus bangkit di Yerussalem. Mungkin di zaman Elijah, mungkin umat Musa, bisa jadi jauh sebelum Nuh, sejarah itu telah terpahat di sana, dan kubaca: Perang dan doa, dan agama, berdampingan
    Kecerian menjadi milik orang-orang bersih, di manapun. Tapi kehidupan tidak akan pernah mencapai sempurna, sekalipun semua perempuan dilahirkan sebagai putri yang jelita. Perang tetap akan meletus sepanjang zaman. Sebab ia gula-gula sejarah. Sebab ada lelaki. Darah prajurit akan tumpah, membasuh tanah hingga kembali gembur. Adakah pohon-pohon di Sangkuriang bercerita kepada-mu mengenai kota peninggalan Pajajaran yang tertimbun di pedalaman, disembunyikan dari kebengisan, diselamatkan dari anarki
    Tak ada yang mengerti, sebagaimana juga cara orang-orang Zulu berperang melawan Inggris, tak bisa kupahami: mereka menyambut kelahiran dan menyosong kematian, sama riangnya. Lagu-lagu di kumandangkan. Maklumat diteriakkan. Sebuah requiem pada akhirnya dimanapun bernada sama; mengetarkan bulu kuduk
    Aku melihat Amerika mengeluarkan anak-anak dari dalam kelas, suami-suami direnggut dari anak-istri, semuanya untuk perang melawan Vietnam, dan sebuah bukit mengabadikan arwah mereka. Dari kedalaman masa lalu, dapat kudengar jerit kesakitan prajurit yang terbantai, angin mengutarakannya seperti tape memutar kaset rekaman: Sejarah diukur dengan dendam


Jakarta, 2004
BACA SELENGKAPNYA

Moskwa

DOBRE wiecer Moskwa! Sekalipun di kremlin,(1) tak ada nabi tanpa wahyu. Bapak Revolusi Bolshevic itu memang telah tertidur pulas di mausoleum, dengan lengan kanan mengepal, membawa mati siasat yang belum terlaksana. Aku dapat membaca siasat itu lewat kerut keningnya, lewat antrian para peziarah. Oh kasihan. Aku punya bonbon susu dan sedikit candu. Ingin kuhadiahkan kepadanya. Kapan si bapak itu berulang tahun?
    Di negeri beruang merah aku terperangah, seperti orang udik terlongo-longo di Plaza Senayan. Di kota empat puluh kubah, gedung-gedung dibangun dari ilham. Tujuh menara kue tar yang kembar, berlomba menyalami awan. Warna merah menyala pada dinding tembok, membakar asa. Sepanjang 72 KM kanal merawat kota dari banjir. Kupikir, pernah hidup seorang da’i yang gigih, hingga orang-orang meyakini dan menunaikan tuah bahwa kebersihan sebagian dari iman
    Dan hari-hari yang kelam itu akhirnya mulai terang. Papan reklame bangkit di mana-mana. Palu arit tinggal kenangan pada kaos dan emblem. Memang masih ada luka, masih bergelimang sengsara. Mungkin sedang menyembunyikan nasib yang getas orang-orang bergegas dengan metro bawah tanah. Hingga luka dan pedih tak menguar. Di Bolshoi Theatre, tarian Swan Lake melipur umat. Di Hermitage, dulu, Ekaterina menabuh lonceng, menyihir anak-anak bergegas ke madrasah, bergairah membawa kalam dan sabak. Sekolah, seperti titah Stalin, lebih utama dari sebotol vodka
    Di Dumma(2) memang masih bergentayangan oligarkhi. Di labirin-labirin banyak skinhead yang sakit hati. Tapi adakah sebuah bangsa tanpa si culas? Tanpa si picik yang picak? Karena itu, jangan pernah mengatakan bahwa konglomerat hitam bukan masalah. Mereka adalah nilai bagi negara, adalah racun pekat. Membuat-mu mabuk samput
    Siang sedang tiarap ketika aku menginjakkan kaki di Domodidovo. Musim dingin yang kaku, mengepungku dengan bongkahan salju, dengan tamparan angin yang menyabit-yabit kulit. Sebelas bagian waktu dan sepertiga daratan dunia, yang terbentang dari selat Bering di Alaska hingga ke Laut Baltik di Eropa, adalah Rusia yang memukau. Aku terkesiap. Terkesiap oleh para penyanyi jalanan yang mendendangkan Tjaikovsky di lorong-lorong stasiun. Terkesiap oleh gadis-gadis yang mencukur jembut jadi sebentuk kumis Hilter. Terkesiap lenggokan anjing laut dalam sirkus, terkesiap karena sekerat papaya jauh lebih mahal dari segoyang anggur


Jakarta, 2004



1 Kantor Kepresidenan Rusia
2 Dewan Perwakilan Rakyat Rusia
BACA SELENGKAPNYA

Dinda (1)

Inilah puisiku
Didamar dari pengalaman
Diketam dengan pergulatan
Kuinginkan dan kurencanakan
Sungguh-sungguh kupersembahkan
Untuk-mu

Untuk-mu
Aku habis-habisan menulisnya
Sejujurnya, bergelut dengan puisi
Lebih terasa susahnya
Susah menciptanya, susah memahaminya
Dan semua penyair tahu, susah menjualnya

Terkadang aku nyaris patah arang
Adakah puisi benar-benar berguna
Ketika menjelma titah bersabar
Di tengah amarah kehidupan
Hanya didekati orang-orang yang menderita
Coba-coba ditulis remaja saat jatuh cinta

Tetapi aku habis-habisan mendapatkannya
Hingga terbawa-bawa ke dalam tidur
Dan menjadi mimpi-mimpi yang mengejutkan
Sampai aku tak tahu sedang tidur atau terjaga
Tetapi untuk-mu aku menulis puisi ini
Aku sudah merasakan susah merasakan senang
Aku telah habis-habisan dan memilih
Berani hidup bermartabat bersama-mu


Jakarta, 2005
BACA SELENGKAPNYA

Dinda (2)

Inilah sepenggal fragmen kehidupan
Semakin dipikirkan
Semakin membingungkan
Kuharap aku sedang tidak berangan
Dan kau tidak terbawa mengawang

Ketika mengingat perjalanan waktu
Selalu yang lahir andai-andai
Andaikan derik waktu bisa dibalik
Seandainya dulu begitu
Kini tidak begini

Ketika ikut-ikutan merias wajah
Galur-galur ketidaksempurnaan
Bagai tekstur yang memiuh
Kita merasa begitu rapuh




Jakarta, 2005
BACA SELENGKAPNYA

Cinta Kita

Ledakan gunung berapi
Ombak membuncah-buncah
Adalah birahi kita

Ruang dan waktu
Adalah cinta kita

Seperti tanah seperti puisi
Cintaku menyerap kecantikan-mu
Memancarkannya
Untuk dunia yang gaduh

Ledakan gunung berapi di gigir laut
Ombak membuncah-buncah adalah
Amuk rakyat kepada gubernur yang busuk
Terjadilah keonaran
Terciptalah petaka

Inilah teka-teki cinta kita
Dapatkah menemukan kambing hitam
Jika semua kambing berwarna hitam

Cinta kita masa lalu kelam
Menyerap selubung cahaya
Jadi lorong gelap


Jakarta, 2003-2004
BACA SELENGKAPNYA

Aku Cinta Pada-mu (1)

Bagi-mu yang menyimpan hamparan laut
Sebuah perahu akan berlabuh
Mengantarkan salam dan kasihku
Sebatang sungai akan mengalirkan
Kerinduan dan peluk-ciumku

Bagi-mu yang terlunta-lunta di belantara kota
Yang didera kelaparan di tengah pesta pora
Yang dihardik kesepian di tengah keramaian
Bertandanglah ke ruang batinku
Akan kuhibur kau dengan selarik puisi:
Aku cinta kepada-mu!

Jakarta, 2005 - 2011
BACA SELENGKAPNYA

Aku Cinta pada-mu (2)

Inilah hidupku: Sunyi
Senyap langit
    Senyap bumi

Jakarta dini hari sehabis idul fitri:
Semesta yang mengheningkan cipta

Adakah berbuah
Bila kutanam di lubuk hati-mu

Ciumanku ingin bangkit
    Membakar kecantikan-mu
Supaya waktu tidak cepat berlalu

Di sini tidak ada musim gugur
Tapi daun-daun selalu luruh
Kemurungan sigap datang
Lalu kembali seperti biasa
Kita sibuk dan lupa


Jakarta, 2000 – 2004
BACA SELENGKAPNYA

Aku Cinta pada-mu (3)

(1)
Aku menulis sajak ini
Dengan tidak mengatasnamakan rakyat
Sebab aku pun rakyat

Kau pernah berjanji akan menerimaku
Sabagai apapun. Kekasih, ketahuilah
Aku mencintai-mu sebagai rakyat malang
Karena selalu dikhianati pemerintah

Tapi jika masih terbit pagi berikut mataharinya
Pasti kusunting engkau
Namun bersiaplah menikah di hati masing-masing
Sebab rumah-rumah ibadat telah dibakar umat
Maskawinku tangisan yatim piatu korban DOM
Ditambah jerit pengungsi Ambon dan Timor

(2)
Demi gedung-gedung yang berebut mencakar langit
Demi demonstran dan aparat yang berjabat hati
Dengan batu dan peluru: Aku mencintai-mu
Tapi ternyata hanya mencintai tanah air
Yang dipimpin penyamun dan pencoleng


Jakarta, 2002
BACA SELENGKAPNYA

Aku Cinta pada-mu (4)

(1)

Kekasih, akulah kota Jakarta yang semerawut
Dengan pemakaman umum yang tak terawatt

Tiba-tiba banjir bandang menerjang
Bah tumpah dari delapan penjuru
Liar, seperti prajurit kelaparan

Ke mana kau akan mengungsi
Berpalinglah pada ruang batinku:
Pada satu-satunya kuburan yang tak terendam


(2)

Aku tak bisa lagi memberi irama pada cuaca
Sedang si penagkap angin yang berpengalaman
Dengan wajah tirus dan jarring di tangan
Telah pulang ke akhir sejarah
Tinggal aku, kota yang sengsara
Harus merawat-mu dari wabah dan musibah

Hari ini tak ada mendung yang menggantung
Di atas rumah-mu. Tak ada halilintar
Yang tersesat arah. Ledakan petir telah lindap
Tetapi hujan tak pernah letih menari
Dengan seluruh jiwanya. Jika rinyai itu
Membuncah lagi, dan langit kembali berkabung
Kau akan basah kuyup. Rapuh
Seperti kapal terbengkelai di gigir pantai
Kau akan demam dan meracau


(3)

Kudatangi laut ke rumahnya
Siapa tahu dia memendam kesumat
Kujenguk langit dan berkunjung ke
Sarang badai
--kami baik-baik saja, kata mereka—
Hanya memang aku tak melihat hujan yang
Seharusnya tengah mendengkur di Istana Kemarau


(4)

Aku tak mengerti perasaaanku terkini
Apakah tengah membeku seperti batu
Atau mengalir deras, tak terhadang
Bahkan aku mencari-cari masihkah adakah
Kesengsaraan yang bisa mengucurkan tangisan

Kucemaskan kau karena segalanya
Makin sulit diramalkan. Kucemaskan kau
Karena bala dan petaka lebih dekat
Dari urat leher. Kucemaskan kau
Karena hidup semakin tidak memiliki kepastian
Kucemaskan kau karena peradaban telah begitu koma



Jakarta, 2002
BACA SELENGKAPNYA

Aku Cinta pada-mu (5)

Menunggu adalah perangai bebatuan
Aku bukan batu
Segera kulayarkan sebuah ciuman
Ke jantung-mu
Sebelum hari berlalu

Jika kelak kita akan mengarungi lautan luas
Aku akan menjadi nahkoda bagi-mu

Ingatanku telah mengukir jalan menuju ke sana
Rumah yang masih dirahasiakan Azza Wazalla
Bukankah seringkali kuajak kau menziarahinya
Dengan keyakinan bahwa nereka
Diperuntukkan bagi orang yang laknat

Dan aku mencintai-mu bukan lantaran
Tak ada orang lain yang layak untuk dicintai
Aku mencintai-mu karena pintu batinku
Telah terbuka untuk setiap kepulangan-mu

Pulanglah ke arahku
Ke tenda ibrahim


Jakarta, 2003
BACA SELENGKAPNYA

Aku Cinta pada-mu (6)

Ada saatnya aku selalu ingin dekat dengan-mu
Tidur di setiap ruang batin-mu
Mengilhami pikiran-pikiran-mu

Ada kalanya hatiku disergap keraguan yang datang
    Tiba-tiba
Benarkah kita tidak akan terpengaruh jarak dan
    Waktu
Keraguan yang kupikir amat manusiawi
Maka wahai kekasih, berilah aku sebentuk
    Kepastian

Wahai lautan ispirasiku, betapa penting
    Kehadiran-mu
Kuharap begitupun sebaliknya
Seperti api dan sumbu, kita saling membutuhkan
Saat menyalakan pelita

Mari kita leburkan jarak dan waktu
Yang masih menjadi pemisah di antara kita


Jakarta, 2003
BACA SELENGKAPNYA

Aku Cinta pada-mu (7)

Engkau di seberang, janganlah cemas
Sebab di benua yang lain, tak jauh dari hati-mu
Aku tengah memintal benang-benang kesetiaan
Jika telah usai kurajut sebuah mantel
Akan kupaketkan kepada-mu
Kenakanlah sebagai jubah kebersamaan kita

Cinta kita semakin berjarak, semakin membara
Menyulut kerinduanku hingga berkobar-kobar
Jika di tengah kegelapan kau melihat selubung
    Cahaya
Itulah pelita yang memancar dari kedalaman
    Cintaku


Jakarta, 2004
BACA SELENGKAPNYA

Aku Cinta pada-mu (8)

Aku telah menjadi tanah
Yang siap disemai benih
Kan kukembalikan jadi sebentuk tunas

Aku adalah sebait puisi
Yang telah merangkum kecantikan-mu
Kupancarkan keindahannya
Untuk dunia yang tak lelah bermandi darah

Aku obor bagi mereka yang kegelapan
Petiklah api yang memancar di hati-mu
Bakarlah sumbu jantungku

Aku adalah sebaris doa
Kuharap engkau akan memanjatkannya
Ke arasy yang tak terperi
Moga kegelapan
Lekas mempersempit wilayah kelamnya



Jakarta, 2004
BACA SELENGKAPNYA

Aku Cinta pada-mu (9)

Aku telah membelikan-mu  T-shirt allsize
Membawakan matrioska dari Ismailova
Memperlihatkan potret gigir Moskwa
Kurajut selimut dari kabut Yunani
Kukirimkan gantungan kunci dari Abudhabi
Kuselendangkan samping Sukowati
Kuhiasi jenjang leher-mu dengan kalung Papua
Kusematkan emblem palu-arit dari Kremlin
Tetapi selalu saja ada yang kurang

Apakah aku telah menjanjikan yang berlebih

Kelak jika kuganti lima batang cokelat
Dengan sepenggal sajak
Semata-mata supaya cenderamata ini
Lebih kekal dari usia kita


Jakarta, 2004
BACA SELENGKAPNYA

Aku Cinta pada-mu (10)


Sini, Nak! Siapa nama-mu?
Sapa orang tua-mu? Sudah  sekolahkah?
Ini recehan. Belilah bonbon

Aku teriris

Mengapa kau lari ke jalanan
Jadi kau kuntil anak, jadi hantu cilik
Jadi lirik yang getir dalam puisiku

Mengapa kau menolak bapak
Mengapa kau menuding ibu
Mengapa kau menghardik aku

Mengapa hari bermandi janji
Mengapa hati turun-naik
Mengapa uang bawa kuasa
Mengapa kuasa bawa congkak
Mengapa Papua berambut ikal
Mengapa Mongol bermata senja

Sini, Nak!
Mengapa kau betah di jalanan?


Jakarta, 2004
BACA SELENGKAPNYA
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...