Tomang

PADA amar keputusan-mu negara membutuhkan jalan bebas hambatan, agar pintas hasrat, lalu mimpi benar-benar terbukti: Kota mandiri yang asri. Selanjutnya, tiada ampun bagi-mu hai benalu: Gubuk-gubuk akan digaruk, lapak dilabarak, kecoa dipalu. Tinggal tanah yang lapang, awal dari modal, disulap jadi hutan beton. Lalu niat di timbang. Untung dihitung. Namun entah mengapa, pikiran-mu selalu saja meliuk-liuk seperti ular, dengan naluri Adam Lama: Hedonistis
    Itulah muasal silang-sengkarut pikiran-mu, lebih sungsang dari carut-marut lalulintas Jakarta. Kau memang kacau dan hanya pandai meracau. Dari tangan-mu yang kemudian tersirat ialah tirani, yang tersurat adalah bala. Lalu perantau yang galau, pengungsi abadi, bermigrasi ke pinggir kali, beranak-pinak serupa reptilia. Merambat ke mana-mana, melata di stopan. Mendesis-desis, menggelitik uluhati. Kau merasakannya lebih perih dari duri dalam daging, bukan?
    Di antara tiang pancang dan pilar-pilar menjalar, aku benar-benar mengkerut seperti bank yang bangkrut. Dan aku melihat sukma-sukma yang mengerdil, berkubang gincu di antara delapan menara yang mencangkung. Aku mencium bau candu yang akut, merasakan birahi yang masih bugar sedang menjalar. Membuat lengah orang-orang: Ulama juga kiyai akan mabuk, hingga bertekuk lutut jadi budak partai, artis dan selebritis akan terus melacur. Semua akan silaf, jadi beriman pada benda-benda
    Tetapi syukurlah, toh aku masih memiliki kamu. Kau yang berkilauan, lamat-lamat mengentaskan sukma. Meretaskan pikiran. Segera kugelar tikar, berwudlu debu: Ini kepasrahanku. Terimalah segala kesah: Aku masih mencintai-mu



Jakarta, 2005
BACA SELENGKAPNYA
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...