Merauke

DARI ketinggian, aku hanya mampu melihat dari ketinggian, nampaklah puncak Jaya Wijaya yang sedang merenung. Megah sekaligus angkuh. Ingin kugapai namun tak terjangkau, sebagaimana juga sukma-mu yang bersikukuh di pedalaman, begitu bersahaja namun tak dapat diraba. Dari ketinggian pula, aku melihat danau Sentani yang eksotik dengan kaki bukit yang meliuk-liuk seikal rambut-mu, seperti ular naga sedang bermimpi. Tak mengapa, asal jangan pikiran-mu yang lawas dalam lelap
        Toh aku bertemu dengan seseorang yang ajaib. Johanes Gluba Gebze namanya. Lelaki inspiratif yang kharismatik. Wajahnya memang mirip patung yang belum rampung diukir, tetapi pikirannya memancar selancar air mancur. Kulitnya sekelam nasib bangsa ini, namun pidatonya menguarkan pencerahan
        Ia likat di hati masyarakat, dengan senyuman menawan menyapa anak-anak Merauke. Dan inilah anak-anak Merauke: semut hitam yang mendirikan sarang hingga 11 meter. Inilah anak-anak Merauke: kanguru yang diburu. Inilah anak-anak Merauke: daerah perbatasan yang terlupakan. Inilah anak-anak Merauke: masih tertinggal, namun lebih tepat, akuilah, mereka diajak untuk ditinggalkan. Direbut untuk kemudian dicampakkan
        Lelaki itu bersabda di siang yang tenang: Biarkan kami selamat sesaat, menikmati langit tanpa awan kelam. Nun di sana, jiwa-jiwa yang masih melekat pada irama bumi, berjingkrak-jingkrak mengitari rumpun buah merah yang membawa berkah. Ketika kehidupan bergerak ke arah barat, di lepas Arafuru, bola dunia itu merakah seperti semangka merah, dan ubur-ubur bernyanyi, mengitari sebuah pulau asing
        Sebuah pulau asing yang ditunggu bergantian oleh burung dara dan kalong. Selepas senja, burung-burung dara berjaga. Sepanjang siang, kalong-kalong bergelantung pada rindang flora. Tuan-tuan sekalian, para pejabat yang terhormat, kami yang bermukim di sumbu paling timur, dari ranah Nusantara yang luas, telah menjadi satwa yang setia, menjaga tugu 5.200 kilometer yang menjadi titik akhir lintasan republik. Kami tidak menuntut balas jasa. Kami hanya terharu membaca jiwa Tuan dan Puan yang sesungguhnya


Jakarta, 2005
BACA SELENGKAPNYA

Jakarta (1)

MEREKA datang padaku meloncat-loncat, tak ubahnya seekor kodok. Betapa kurang ajar dan tidak tahu tata susila. Mereka mendongak, mendesis-desis dengan air liur meleler, lalu dengan sok berwibawa, berkata, “Percayakan suara-mu kepadaku!”
        -Aku ingin menertawakannya, sepuas-puasnya, seperti melemparkan gelas kristal sekencang-kencangnya,hingga rumpang berkeping-keping. Makin keras gemerincingnya, makin nikmat aku mendengarnya.-
        Mereka lebih dari lancang dan benar-benar tidak tahu menghargai etika. Datang padaku dan meminta segalanya. Minta suara, minta jabatan yang basah, minta kursi yang empuk, minta keadilan ditegakkan. Terakhir dan yang paling menyebalkan, minta ¼ anggaran negara untuk menggajinya. Lalu apa kerjanya?.
        Pada dasarnya mereka orang-orang yang lamban lagi pemalas. Jalannya saja nampak seperti sedang menari bedaya. Tapi tak bisa dimungkiri, mereka pandai bersilat lidah. Itulah sebenarnya keahlian mereka. Selebihnya, petualang dan pialang.
        Sudah kuduga sebelumya, mereka mengganggapku gila dan mudah dikibuli. Ketika aku lengah, sebentaran saja, semua tatanan jadi berantakan.
        Sepeti anak kecil belajar berjalan, akan mengalami kejatuhan. Walau sakit dan menangis, akan bangkit lagi, berjalan lagi, dan lagi. Maka baiklah, kuanggap mereka sedang belajar jatuh-bangun dan dating padaku tertatih-tatih. Namun aku keliru, dan mereka benar-benar keterlaluan. Ternyata mereka hanya pura-pura jatuh untuk mengecoh. Ketika aku lengah, sebentaran saja, mereka sudah pindah tempat, berganti posisi. Kusaksikan mereka bukan meloncat-loncat,  tapi berlari sekencang-kencangnya, dan menjelmalah gedung-gedung menjulang, berdesak-desakan seperti berlomba mencakari langit. Dan tamak merasuk jatuh ke lubuknya, hingga tak bisa melihat tegal yang lapang. Tanah kosong disulap menjadi kebun beton, dengan menara-menara angker bak pohon palm.
        Sudah kuduga, mereka menganggapku gila dan berpikir aku bisa di tinggalkan. Kesalahanku paling nyata ialah bahwa aku sempat lengah. Lebih dari itu, aku terlalu percaya kepada mereka, sehingga dengan gampangnya kuberikan suaraku. Kuberi mereka kedudukan, dan kurelakan ¼ anggaran Negara untuk memuaskan selera tamaknya. Anjing!
        -Tapi aku tidak boleh bersedih, tidak boleh menangis. Melihat semua itu, aku harus tertawa sepuas-puasnya. Tentu saja, orang-orang sepertiku telah memupus kepercayaan kepada mereka. Dikiranya kami masih mengganggap mereka sebagai orang-orang terhormat. Tidak, mereka itu adalah bangsat.-


Jakarta, 2005


Sumber foto: tribunnews.com
BACA SELENGKAPNYA

Jakarta (2)

DI Silang Monas, aku mengawang lagi. Aku akan kembali tidur dua ratus lima puluh tujuh tahun. Sampai dinasti tujuh kali berganti. Sampai lenyap harap. Aku akan meneruskan mimpi, toh kota ini tercipta oleh dan untuk para pemimpi. Dan sebab hanya di dalam impian bisa berjumpa kesejatian. Hai nona manis yang minimalis, di dalam impian pula kita pernah bersua, bukan?
    Di Silang Monas, kau terjun lalu berkeliaran jadi gula-gula kehidupan. Aku tahu, kau sedang menunggu Sang Waktu memberikan jawaban. Aku yakin, kau sedang menyindir dewa-dewa yang bersitahta di Pusat Kekuasaan. Tapi yang kau dapat segudang Tanya berikutnya. Kau sudah terjun. Sekali melangkah, susah pulang. Puas tidak puas, begitulah jawabannya, bukan?.
    Di Silang Monas, aku merenung ke belakang. Menelisik. Mengapa pejabat takut beradu tanduk, miris menghadapi taji, rumpang disinggung taring. Kucabut saja tandukku, kugergaji taji, kubanting taring. Sebab yang kuharap bukan ketakutan tetapi rasa segan. Yang didambakan setiap manusia ialah tabik yang asli, salut yang patut, hormat yang tepat. Jika demikian, adakah pejabat bisa digolongkan manusia, tanya-mu, bukan?
    Di Silang Monas, bagaimanapun aku harus berterimakasih kepada-mu yang telah ikut menggulingkan sang tiran, memilihkan anggota DPR dan Presiden. Selanjutnya, aku ingin melihat-mu hidup tentram, beribadat dengan tenang, memiliki jaminan hari tua, anak-anak bisa bersekolah dan menjadi pejabat yang tidak bejat. Sungguh aku berterima kasih, sedikit saja yang kurang dari-mu, kau tak bisa menurunkan harga-harga. Aku pun bimbang, akankah nasib bersahabat dan kau benar-benar berdaulat. Aku mengerti kau ingin bisa memijak dengan kukuh dan tangguh. Sungguh tak cukup bermodalkan niat yang bulat. Harus juga liat, kuat, dan nekat, bukan?.
    Di Silang Monas aku melihat bulan kuning lesi lenyap dalam gumpalan asap. Aku mencium tuba pengkhianatan. Aku tahu orang-orang seperti Allende, Loppa, atau Munir, dan ada segelintir lagi, adalah  pembela kalian. Tetapi mereka yang berkiprah melawan bromocorah selalu berhasil diberangus, lalu digerus. Kalian kian kesepian, bukan?
    Tentu saja aku marah dan ingin menyikat si laknat. Aku ingin membalaskan dendam untuk-mu. Tetapi di Silang Monas pula kudengar suara yang berulang-ulang menggaung: Dendam yang diumbar ialah takabur. Tabah, tabah, tabah!


Jakarta, 2005

Sumber foto: pondok-hamzah.blogspot.com
BACA SELENGKAPNYA

Jakarta (3)

JADILAH warga negara yang baik. Berdermalah, dan bayarlah pajak. Begitulah para penguasa berkelakar
        Apakah mereka tidak tahu kalau aku sudah menjadi warga yang baik dari sebuah negara? Entah negara apa yang kupijak ini. Atau mereka buta hingga tak dapat melihat kalau aku ini sudah menjalankan segala yang dimaksud dengan kebaikan? Seperti ikan bandeng, demi kebaikan, aku berjejal-jejal di bis kota
        -Mereka bukan tidak bisa melihat, tetapi mereka tidak mau melihat!
        Seperti rasul yang hidup hanya untuk berderma, aku juga berderma. Saat kencing di terminal, aku membayar pajak sebagai bentuk dari derma, Saudara! Bahkan aku selalu, dan masih akan selalu menyisihkan sekeping-dua bengol untuk kuntil anak yang menengadahkan kemurungan di perempatan jalan. Apakah mereka tidak bisa melihat?
        -Mereka bukan tidak bisa melihat, tetapi mereka tidak mau melihat!
        Aku teringat pesan mereka. Hey, jangan kau beri sedekah orok-orok yang diperalat di trotoar, sebab tidak mendidik. Hanya melanggengkan kemalasan mereka yang hidupnya bergantung pada muslihat untuk beraih belas kasih!
        Tanpa harus kau ajari, aku tahu tentang mereka yang hidupnya tergantung pada kemurahan jalanan. Sebagian di antaranya benar-benar menderita. Separuhnya memang kadal buntung. Tetapi ingin kukatakan, adakah orang seperti-mu yang tidak pintar bermain siasat? Adakah orang seperti-mu yang tidak tahu cara memasang kedok? Adakah orang seperti-mu yang bukan dari golongan kadal buntung?
        Harus kau ketahui, sesungguhnya menghadapi orang-orang yang hidupnya bergantung pada kesemerawutan jalanan, hatiku terbelah dua. Memberi mereka aku jengkel, karena seperti kata-mu, aku tidak mendidik. Tetapi jika tidak memberi, aku juga jengkel, karena selama ini akulah orang yang rajin berkoar-koar: Hai orang-orang, berdermalah sebagaimana Rasul berderma!
        Tahukah kau maksud Rasul mengapa menyuruh membagi-bagikan daging kurban kepada semua tetangganya, sekalipun termasuk orang yang kaya dan raya, sekalipun Yahudi atau Majusi?
        Dan berderma, ternyata bukan hanya dialamatkan untuk orang-orang yang sengsara. Derma ialah perhatian. Kepada mereka yang kelaparan, berikanlah makanan. Kepada mereka yang kehausan di tengah lautan, apakah kau akan memberikan kepingan emas? Memberi ialah kepada yang membutuhkan, sekalipun hanya sapaan. Bagi mereka yang menengadahkan wajah dengan memasang raut memelas di lampu stopan, yang di butuhkan adalah recehan, dan apa susahnya kau rogoh sekeping saja dari gaji-mu yang angka nolnya berderet-deret?
        Jika saja kau paham seluk-beluk, kau akan tahu antara selebritis dengan penyanyi jalanan, pada dasarnya sama-sam pengamen. Jika dilihat dari sudut benda-benda, adakah yang bisa membedakan kau dan aku sementara kita sama-sama mencari sesuap nasi?
        Picingkan lagi mata-hati-mu seperti pemburu yang tengah membidik mangsa, supaya tajam perasaan-mu, dan terpusat perhatian-mu, kau akan bisa melihat, bahwa kau sebenarnya hanyalah seorang abdi. Biar terngiang dalam pengupingan-mu, kutegaskan lagi, kau tak lebih dari seorang abdi!


Jakarta, 2005


sumber foto: list.co.uk
BACA SELENGKAPNYA

Jakarta (4)

PADA dasarnya mereka adalah hewan-hewan yang tidak siap menderita. Pada dasarnya jiwa meraka amat kerdil dan melata seperti cacing. Adakah reptile yang mampu merangkak di jalan aspal yang memuai oleh sengatan matahari?
        Bahkan di undakan pasir, cacing-cacing tidak mampu bertahan sekedar untuk hidup. Berbahagialah kalian yang dituduhkan sebagai kecoa karena bisa bertahan di dalam got, bisa terbang ke mana-mana. Sedangkan mereka yang tidak mampu mengatasi penderitaan, lihatlah, akhirnya memperebutkan kesempatan dalam kesempitan dengan mengaku-ngaku sebagai orang yang demokratis
        Sesungguhnya orang-orang yang mengaku demokratis umumnya adalah orang-orang yang tidak demokratis ketika berkuasa di komunitasnya. Di hutan rimba, mereka selalu jadi raj di tengah satwa yang lemah
        Ketika reformasi bergulir dan millenium berganti, tiba-tiba banyak reptile yang mengaku-ngaku prodemokrasi. Di mana-mana orang-orang keranjingan demokrasi. Dan orang-orang yang duduk di Dewan Kesenian juga mengaku sebagai reptile yang demokratis. Di sebuah distrik, ada anggota Dewan Kesenian yang kerjanya hanya menghabiskan anggaran. Ada juga anggota Dewan Kesenian yang mencaci-maki walikota, namun setelah dikucurkan anggaran, kerjanya balik memuji-muji. Di lain waktu ada lelucon, anggota Dewan Kesenian di bentuk dengan cara ditunjuk. Apakah penunjukan merupakan cerminan sikap demokratis?
        Pada kenyataannya, orang-orang yang mendapatkan ‘berkah’ duduk di Dewan itu melaksanakan kegiatan dengan main tunjuk pula. Aku katakan ‘berkah’ bisa duduk menjadi anggota Dewan, sebab mereka menerima gaji yang cukup layak, yang diambilkan dari uang rakyat. Dalam pembagian gaji itu, mereka menentukan sendiri berapa besarnya. Jelas sudah, mereka itu reptil-reptil yang tidak tahan menderita
        Jika suatu hari datang kepada-mu reptil-reptil yang mengaku demokratis, jangan ragu untuk melempari mukanya dengan debu. Atau ludahilah wajah mereka
        Tidak ada orang demokratis yang membusungkan dada dan menantang ke mana-mana. Bukan orang demokratis yang suka mengaku-ngaku dan membutuhkan pengakuan. Orang-orang demokratis tidak suka menciptakan musuh sekalipun musuh akan selalu datang menyertai kesuksesan. Tetapi orang-orang demokratis akan disegani sekalipun oleh kecoa-kecoa yang membencinya
        Sesungguhnya di tengah bangsa yang belum menjunjung tinggi hukum, demokrasi belum dibutuhkan. Bahkan karena terlalu ingin demokratis, engkau bisa kebablasan lalu lupa tatanan kebersamaan, sehingga kau hanya pandai berkoar dan menghujat
        Menegakkan demokrasi tetapi tidak diawali dengan menegakkan tatanan kebersamaan, sama artinya dengan memberikan kesempatan kepada reptil-reptil yang tidak tahan menderita itu untuk melata menuju kekuasaan. Lihatlah, bukankah reptil-reptil itu tiada lain adalah petualang yang pekerjaannya menumpuk kekayaan, yang dikiranya bisa meniadakan penderitaan! Lihatlah, bukankah pekerjaan mereka hanya memperebutkan kekuasaan?



Jakarta, 2004

sumber foto: elitistmagazine.com
BACA SELENGKAPNYA

Bukittinggi

BERBAHAGIALAH karena orang-orang masih mencintai-mu setinggi langit sedalam laut. Jangan kau balas dengan kebencian.
        Ini kota memang telah jatuh, sebelum Baghdad runtuh. Sebelum menara kembar tumbang di New York. Mungkin Washington akan luluh lantak, bersama amarah umat yang kian mengeras. Bersama gerhana yang mengekal.
        Dulu di ngarai, anak-anak mengaji dan mengasah diri, bermain randai dan meniup saluang. Sebuah pegunungan yang dingin, berkelok dan menyihir, cenderung melahirkan pemikir dan penyair: Di Athena Aristoteles menjadi, di Bandung Bung Karno besar. Di rahim-mu bapak-bapakku tumbuh: Hatta dan Hamka. Yamin dan Salim. Syahrir di susul Natsir. Ya, bahkan pada saraf Tan Malaka mengalir darah Minang. Semua lahir untuk bangsa, semua bangkit untuk negara. Bapak-bapakku ikut memahatkan falsafah, turut mengibarkan Sang Saka.
        Aku berdiri di jembatan Limpapeh, menekur di Ford de Kock. O Andalas yang jauh, ringkik kuda yang melindap, api perlawanan yang meredup. O para pahlawan, O Imam Bonjol, tahukah Tuan seperti apakah pewaris-mu kini.
        Aku menelikung ke sejumlah kelokan. Jam Gadang yang mematung, lenyap di telan gunung. Lobang Jepang, seperti nganga rakyat yang tak berdaya. Ngarai Sianok yang lawas, apa kabar-mu.
        Aku berdiri di antara Singgalang dan Merapi. Mencintai-mu sekuat tekad bapakku mendirikan Republik. Lalu angin senja berbaris, turun gunung, membasuh muka di Maninjau, berdoa di surau. Datang padaku sebagai prajurit siap tempur. Ditapisnya permukaan langit dari tenung, mendung, juga bau sirik dan jahil. Hingga terang-benderanglah wajah langit yang rupawan, secantik wajah-mu.
        Ribuan ilham hijrah ke dalam tempurungku, menyentuh sukma. Pekik bapakku di medan tempur, di buku-buku, di meja perundingan, merambat, mengelus kudukku. Bulu roma bangkit. Aku tergetar: Ini negeri harus di bela.   
Aku mencintai-mu, jangan kau balas dengan kebencian.


Jakarta, 2003

Sumber foto; hamikofebria.blogspot.com
BACA SELENGKAPNYA

Bandung

DI kota ini regas bangsaku gemeretakan. Jelaga selingkuh di angkasa. Jalan-jalan pada bunting: Melahirkan lapak kaki lima, pedagang asongan, calo, hingga penjahat bermata satu. Di utara, hutan pinus hijrah ke dalam jambangan. Tahukah kamu mengapa bah menggelontor di bahorok? Menerjang kerongkongan yang kerontang? Dan kau tahu, kemarau jadi hantu yang bersarang disumur-sumur.
    Setiap sore hingga petang lingsir, aku harus bersedekah pada kaleng-kaleng kemiskinan yang memblokir trotoar. Dan kupu-kupu bertengger di ujung Braga, menghiasi kota jadi semeriah kembang api. Sumbi, pakaian adat mu tanah yang gembur lagi subur, petani-petani menyematkan butiran padi pada mahkota-mu, jadi manik berkilauan, keemasan. Benar kata orang, Tuhan menciptakan-mu saat tersenyum di pagi yang cerlang.   
     Kini kau bugil. Tubuh-mu sebatang-kara. Penuh borok, tempat orang-orang minum nanah. Ada rajah di lengan-mu. Engkau mencandu?
    Buah dada-mu di utara dan selatan, telah menggelambir seperti bukit puncrut. Sarat bercak: Rumah-rumah kardus, sampah, polisi lalulintas yang menyebalkan, jalanan sungsang, kemacetan, dan seterusnya. Aku mual, muntah-muntah, lalu pingsan.
    Aku masih ingat, ada sebuah celah tersembunyi di perbukitan Dago yang gembur, dengan hutan cemara yang rimbun dan ikal. Dari pusar bukit, mata air memancar, mengalir, membelah jantung kota. Itulah Cikpundung. Bung Karno dan pembesar Asia-Afrika melepas sepatu di sana, ingin meresapkan dengan kaki telanjang sejuknya rerumputan yang merumbai hingga ke pangkal paha-mu. Di pangkal paha-mu anak-anak mengemas jerami jadi perkemahan, membuat ketapel dari reranting kelor. Benarkah semuanya telah terkubur dan tak akan pernah kembali.
    Sumbi, celah itu telah jadi nganga, goa yang dizinahi anak-anak piatu: Kini kau ngidam relestat dari Parongpong ke Pasirlayung, dari Padalarang hingga Parakansaat. Dari rahim-mu bayi-bayi berlahiran untuk membunuh ibu kandungnya.
    Aku akan datang pada-mu, membawa sesaji dan kemenyan, pahat dan pusara. Ku ukir di batu nisa: Telah jatuh sebuah kota!


Jakarta, 2004


Sumber foto: djeblogg.blogspot.com
BACA SELENGKAPNYA

Dialog Imajiner dengan Imam Samudra

PADA masa lampau, nenek moyang kalian mematuk terang-terangan. Pala, lada, palawija, pasir, gambir, tebu, batu, jagung, gandum, bandeng, rebon, rebana, sirsak, minyak, granit, emas, tuak, cokelat, karet, bebek, babi, dan masih bergudang-gudang barang, kalian cokok dari ubun-ubun. Nenek moyang kami jadi cekcok, lalu saling golok. Rebah tubuh, simbah darah. Hey para imprealis, maka terimalah ledakkan bom itu.
    Sekarang, kalian mengendap-ngendap. Menyelinap lewat beragam piagam. Mengeluarkan dalil melalui konvensi, dan kami dipaksa ikut meratifikasi. Melalui perundang-undang HAM, kalian menuding hidung kami yang tidak bengkok sebagai bar-bar yang biadab. Melalui kapitalisasi ekonomi, kalian menjadi nomenklatur yang terlalu banyak mengatur , mengeksplotasi, mengacak-acak. Ini adalah pelanggaran HAM. Kalian paksakan HAM kepada kami hanya menyangkut dosa-dosa kami. Bukankah eksploitasi dan pembodohan juga merupakan pelanggaran HAM? Hey para imprealis, maka terimalah ledakan bom itu.
    Bukankah IMF itu rentenir internasional? Ironis, sekali tepuk tangan, langsung krisis moneter1. Bukankah WTO dibangun sebagai pilar monopoli, atau adakah istilah yang lebih tepat untuk menyatakan kemaruk kalian? Bukankah pasar bebas di rancang untuk kalian bebas mengobok-gobok harga diri kami, termasuk mengobok-gobok vagina puteri kami? Hei para imprealis, maka terimalah ledakan bom itu.
    Kepalang sungsang, kadung semerawut, sudah terlanjur basah, biar semua belajar, kuhajar sebuah banjar di malam Oktober. Dan gegar, hari jadi haru. Jika kalian belum juga sadar, belum juga insyaf, bom-bom kami tengah hamil, beranak-pinak, siap meledak bila dibutuhkan.
    Kutanya ia, kenapa kau ikut renggut saudara-saudara kita yang tidak berdosa. Imam itu menjawab, bencana dikirim Tuhan tak mengenal pangkat dan tempat. Moga saudara-saudara kita yang tidak berdosa, beroleh pahala!!!



Jakarta, 2005





1. Larik dipinjam dari puisi Atasi Amin berjudul IMF
2. Sumber foto: solusi--berpromosi.blogspot.com
BACA SELENGKAPNYA

Yth. Reza Idria

Doa Sewaktu Sakit

AKU tengah ditenung murung, diterjang malang. Aku kini terbantal, lemas dan cemas, sehabis dihardik tasik yang tiba-tiba berisik. Mohon bacakan doa-doa. Lalu si pemalu yang ragu-ragu dengan perasaan jingga, bersayap merah merona, ikut berlalu di sebalik amuk samudra raya. Jadilah aku  kini lelaki lama yang menyendiri.1 Mohon bacakan doa-doa
    Lenguh dari jauh itu benarkah dating dari-mu Reza Idria?   
    Yakinlah, termaktub dalam kitab, Yang Maha Mrngabulkan sudilah kiranya menguping senandung pejuang, yang gigih bertaruh, kendati tubuh merapuh, setelah didedah bah, yang menambah jumlah kesah. Aku ikut sakit, ikut bersimpuh, ikut mengeluh, Yang Maha Mengabulkan sudilah kiranya meluluskan pinta paling penting dalam sejarah hidup manusia. Dalam hidup-mu, Reza.
    Ada telaga embun, jadi basah dititis gerimis. Lalu sirna dicerca buana. Ada umat yang kelewat laknat, lalu dituntaskan Yang Maha Membereskan. Ada meteor jatuh, cahayanya yang segera menyusut, mengukuhkan kefanaan.
    Kulihat seribu burung dara bersayap abu-abu berombongan terbang ke barat, seperti hendak menyusul jejak surya, agar keremangan tidak cepat berganti kemurungan. Ketika fajar menyinsing, kulihat rombongan kelewar bersayap putih yang beterbangan ke barat, seakan mengejar langkah kegelapan yang tertatih-tatih. Sebenarnya tak ada yang perlu di buru, toh kegelapan dan pelita, datang dan pergi, silih berganti.
    Musibah dan keberuntungan sama beratnya. Dan kita mudah goyah menghadapi keduanya. Reza, aku pun pernah mercerap kepahitan dan kehilangan kepastian. Aku tidak bias menakar diri, kehabisan batu untuk mengobarkan bara. Aku ditinggalkan. Aku merasa selalu di tipu dan dibodohi. Diperas lebih keras dari romusha. Lalu keseru, kenapa Engkau berpangku tangan?.
    Bahkan aku pernah begitu takut membayangkan dan meneruskan perjalanan. Aku hanya bisa memohon dan memohon, moga segera dilunaskan kecemasan, diampunkan kehilafan, dipulihkan keyakinan. Aku merasa begitu dekat.
    Tapi di lain tempat, di lain keadaan, tak kuingat siapapun. Tahulah aku, ada kalanya sebatang pohon butuh rontok sebelum benar-benar rimbun dan rindang. Maka tegaklah, buang murung, pandang ke depan, ke pusat segala harap.

Jakarta, 2005   



*1  >> Dipinjam dari larik yang ditulis Reza Idria
*2  >> Sumber foto: feriandyundercover.blogspot.com
BACA SELENGKAPNYA

Yth. Nayu Novita

: Athena

ADIKKU, kau adalah sebuah celah terpilih yang menjadi akhir tujuan para peziarah. Bukit Lycabettus dan Acropolis, menjulang megah di dada-mu, kenyal dan pepal. Berabad-abad filsuf menghisap putingnya. Tiga hal yang selalu terkenang dari wajah-mu:  senyuman, tatapan, dan … (kau isi sendiri). Aku bersimpuh, memberikan segala penghormatan, dan kutulis puisi cinta yang berakhir bahagia.

            Jalanan dan rumah-rumah dibangun berkotak-kotak, seperti hamparan sawah dan pematangnya. Siapapun yang datang ke arah-mu, dari penjuru angin manapun, tak akan pernah tersesat. Payudara-mu yang menawan, putting Lycabettus dan Acropolis, menjadi pemandu arah bagi pelancong. Bagi musafir tanpa peta sekalipun. Tetapi untuk menjangkau kubangun, akhir tujuan para peziarah, kesabaranku tidak cukup memadai: Aku pun tersesat sebagai musafir yang sial, kehausan, terasing, hanya mampu meratapi dinding yang telah berusia ratusan tahun, dengan aksara dan rajah penolak bala yang segaris pun tak bias kubaca.
            Sebagai peziarah, kucoba ber-tawaf dari torso kanan ke torso kiri. Melintasi Corfu, Artha, Patra, Megapolis, Olympia, Tebes, dan tertegun di Excharcia. Aku malata di punggung-mu dengan lidah waktu yang hanya sekerjapan. Seperti orang jawa hadir di bumi, hanya mampir ngombe. Kususuri bagian-bagian bawah, dan sejenak itikaf di tengkuk-mu. Semua yang kuziarahi, putih pualam dan menggairahkan belaka.
            Desember mengucurkan salju. Aku tertegun sebagai orang yang pertama kalinya melihat es krim berhamburan dari langit. Aku segera menari-nari karena mabuk hasrat, hingga bibirku pecah-pecah, lengan bersisik, kulit muka hangus dibakar musim dingin yang kering. Tetapi aku tetap berbahagia, angin yang kencang menyingkap garmen-mu, hingga hijab terkuak. Rasanya aku sudah dekat lubuk itu, ke sebuah celah yang rahasia, tempat pertama kali mimpi diciptakan. Akan kuperas peluh dan keringat, kusiramkan pada ceruk mimpi itu. Kuharapkan anak-anakku akan lahir sebagai pohon pengetahuan yang tidak pernah berpihak.
            Laut benar-benar biru, langit benar-benar biru, para filsuf menaruh keyakinannya, di sanalah segala kunci rahasia tersimpan. Tiga hal yang membuat peziarah dari seluruh penjuru angin bergerak meletakkan kening di pusar-mu, kepulauan Ionia1: Laut biru, langit biru, dan …. (kau isi sendiri).

Jakarta, 2004



1 Ionia sebuah pulau di gugus Yunani. Orang-orang Athena banyak yang tidak tahu kalau orang Indonesia menyebut Greece dengan Yunani. Bisa jadi dari kata Ionia nama Yunani muncul.
BACA SELENGKAPNYA

Yth. Nona Naomi Nauli

customize-news.blogspot.com

: Epidavros Theatre

HARI nyaris sore ketika aku berpakansi ke gigir kota. Langkahku sampai juga di lubuk terdalam Epidavros Theatre. Rasa damai langsung menjalar. Jiwa-mu yang tentram, istirah di antara tiga bukit, dari mana matahari terhijab, suara terhalau. Ada sederet pohon platan berbanjar di kaki langit, matahari tinggal bayangan, sedang senyap telah turun dari tahtanya. Hening sekali, dan kulihat seorang bocah berulang-ulang melemparkan koin di kening-mu, gemerincingnya terdengar sampai ke langit, ke ujung sanubariku. Kudengar juga doa bocah itu: Aku ingin bisa terbang seperti nabi, bukakan pintu angin untukku!
            Dari seantero jagad, orang-orang ingin menziarahi-mu, sekedar untuk mendendangkan madah, atau membacakan manifesto. Kini aku telah sampai kepada-mu, ke sarang putih birahi itu.
            Kau tak pernah memantulkan suara apapun, bukan? Lidah-mu bergeming dari gunjing. Karena itu kuberanikan diri membuka rahasia kepada-mu: Aku mencintai seseorang di Tanah Air, bermata kinclong, alis melengkung, bibir tebal, tubuh semlohai, berkumis tipis, suka puisi, berbakat dalam perniagaan. Simpanlah pengakuan ini di jantung-mu. Hanya di jantung-mu saja.
            Aku ingin memperistri boneka jelita itu, yang secantik hati-mu, seputih kulit susu-mu, sejujur Isa di pangkuan Maryam. Karena itu, kuziarahi rumah-rumah biarawati di lubuk hati-mu.
            Tetapi di manakah pusat birahi-mu, sebab aku juga datang pada-mu sebagai mempelai yang kasmaran. Di deretan kursi marmer yang membisu, tak kutemukan sisa percintaan, tak kudapati tanda-tanda pernah ada ijab-kabul. Tak ada dewi Athena itu.
            Atau mataku memang rabun. Sepanjang mencari barat timur lagi timur lagi. Sepanjang mengharap putih hitam lagi hitam lagi. Ke kanan aku gusar, di kiri terasa rigid. Kata orang, aku ini anak langit, pengelana jagad. Tapi menangkap suwung sukma-mu aku masih meraba-raba. Bahkan berulangkali merenungi diriku, aku tak pernah paham.
           




Jakarta, 2004
BACA SELENGKAPNYA

Yth. Made Wianta

plaka.jpg

: Plaka

BUKIT Mycenae suatu sore. Senja berkemas diwajah-mu, Wianta. Membuat-mu tambah kuning langsat dan sulit ditebak. Kau pun nampak lebih tambun dan makin keranjingan anggur. Tapi bukan persoalan. Toh matahari yang kalis akan kembali bangkit, atau hujan pasti reda seperti di Plaka. Kecuali cinta. Terus bergemuruh. Mengilhami para penyair. Namun mengapa puisi-mu lahir sebagai anak yang suka memberontak, hingga orang-orang tidak mengerti apa yang hendak kau maksud

            Aku terpesona, melihat-mu menggoreskan serapah pada kanvas: Selamat tinggal kesengsaraan! Kulihat selanjutnya, horizon bukan sekedar cerlang. Hari sudah menjadi, bukan sekedar janji. Kau memiliki keajaiban memang. Seperti ‘anugrah tungku’ yang bisa menghasilkan keramik antik saat dikeluarkan dari pembakaran. Kita segera melongo melihat karya yang benar-benar ajaib, nyaris lupa diri. Tapi segera teringat dolar. Teringat rencana-rencana yang baru dituangkan dalam catatan. Atau puisi-puisi belum disalin, masih menggunung dalam bentuk manuskrip

            Suatu hari kau membawaku ke gudang dokumentasi, menunjukkan coretan-coretan-mu. Dibuat tanpa rencana, lebih tepatnya, tak ada urusan dengan uang. Kau begitu telaten menatanya, rapih, dengan titimangsa yang runut. Aku teringat lagi korek api yang dijual di etalase toko, di Plaka, desainnya sangat antik, kupikir itulah produk lampau. Tetapi pramuniaga memajangnya dengan deretan yang menawan. Entah mengapa, orang-orang jadi memburunya. Memang, masa lalu tak berarti selalu usang dan buruk. Terjawab sudah, mengapa melalui karya-karya lawasmu-mu justru dolar mengalir deras ke rekening-mu

            Kata-mu, kerahkan segala kemampuan. Buatlah persiapan, walau kenyataanya banyak kejadian harus dihadapi tanpa persiapan. Tetapi adakah orang yang mempersiapkan hidup? Kita lahir bahkan bukan atas kemauan sendiri. Namun bersyukurlah, toh kita bisa berjumpa, dan tertawa-tawa. Terakhir pesan-mu kepadaku: jangan kau hanya bertumpu pada dengkul-mu

Jakarta, 2005 - 2009
BACA SELENGKAPNYA

Yth. Fozan Santa

rencong.jpg

: Rencong

ADA seribu pintu dan seribu jendela, tertutup rapat-rapat, menyerupai jeruji dilengkapi terali. Di dalamnya dipeti-es-kan seribu misteri, seribu gigil, seribu luka tak terucap. Aku membukanya tidak dengan maksud mengingatkan-mu pada seribu pembunuhan tanpa alasan, seribu perang tidak seimbang, seribu musibah dan wabah, seribu puteri yang tengah menangis di Negeri Serambi, di kala pagi sudah bau mesiu, siang diguncang prahara, malam sengak amis darah, di kala purnama penuh pengkhianatan.
Aku ikut terhenyak, dan lahirlah puisi ini: Santa, kenapa duka-mu tak pernah lelah memanjang, lebih hilir dari lahir, lebih luhur dari umur, lebih pekik dari pekak, lebih dari segalanya. Perih-mu tak bisa di banding-bandingkan. Nyeri itu nyata-nyata selalu menghardik raga-mu, merindukan uluhati-mu yang kehabisan ruang rasa. Maka ledakkanlah tangis-mu!
            Apa dikata, yang kukuh telah rubuh, yang tegar berangsur renta, yang lalu sudah pulang, yang lusa tergesa menjelang. Aku menyibak pintu, menguak jendela. Mengemukalah suatu kenyataan yang bukan sekedar isapan. Rencong-mu lindap keramatnya, luruh tuahnya, lesak ajimatnya, dihisap lintah darat, dipatuk ular berkepala dua, dijarah elite yang lebih mungil namun amat degil, lebih semerbak namun betapa mengancam. Satu hati satu tujuan adalah utopia. Satu negara satu keadilan hanyalah propaganda. Yang terang ialah pukul garuk tumpas kelor. Maka gencarkanlah kesangsian-mu!
            Menjelang penghujung 2004, bah menerjang tanah-mu yang sudah kerontang. Berjumlah-jumlah ikut hanyut. Mata dunia terbelalak menatap jenazah yang bergelimpang. Tangis kami yang menyayat, lebih nyaring dari ratapan-mu yang sesungguhnya. Lengkaplah sudah. Maka kobarkanlah kesabaran-mu!
            Agustus tiba, Jumat datang. Sang khatib menyala-nyala di mimbar: Kita ini bersaudara. Namun ada yang satu dengan yang sebagian, harus berbantah-bantahan. Dan konon kita sudah menjadi pemenang. Negeri kita sudah merdeka. Tetapi benarkah jiwa-jiwa sudah merdeka? Maka jangan pernah berhenti melawan. Aku pun melawan pada kehidupan, sebab orang-orang bijak sudah turut memperbudak. Kutentang barang siapa yang menistakan saudara-saudaraku. Kupernyaring tangis-tangis yang lirih. Hutang gigi dibayar gigi. Selamat berjuang!
            Dan sesungguhnya berjuang ialah meraih kebahagiaan. Wahai saudara-saudaraku, rebutlah kebahagiaan-mu. Asah kembali mustika rencong-mu. Tancapkan pada tanah, muasal segala akar. Biar gusar pudar dicecer, supaya gundah punah dimamah. Agar harap kelak bertunas. Dari sini, dari serambi  sanubari, doaku memanjat ke mana langkah-mu menggeliat. Maka tegaskanlah perlawanan-mu!



Jakarta, 2005
BACA SELENGKAPNYA
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...