Traktat 07

Keksaihku, aku tidak akan menukar desember dengan ember bocor, tidak akan membeli januari dari bandar lotre. Aku tidak akan menggembosi ban ambulance, tidak akan menaburi jalanan dengan paku. Aku tidak akan mempertanyakan janji-janji-mu di masa kampanye, tidak akan menyelidiki rumah bersalin tempat mobil mewah-mu dilahirkan. Aku tidak akan mengakali meteran PLN, tidak akan mengeluhkan pemadaman bergiliran.

Aku tidak akan memprotes dosen-dosen yang bolos, sekalipun biaya pendidikan makin sombong. Aku tidak akan mengingat berapa fatwa MUI yang dipaksakan, sekalipun umat jadi geleng-geleng kepala. Aku tidak akan kecanduan sinetron, sekalipun tayangan televisi makin sarat aurat. Aku tidak akan menghitung berapa bank yang sudah dikeruk, sekalipun nasabah telah resah. Aku tidak akan menuduh-mu telah mencuri, sebab prinsip hukum kita ialah praduga tidak bersalah.

Aku tidak akan jumatan jika sekarang hari rabu. Aku tidak akan mendanai demonstrasi jika belum mampu membeli pulau. Aku tidak akan ditilang jika polisi lalulintas menjalankan undang-undang. Aku tidak akan membakar rumah ibadat jika masih ada yang bersalaman. Aku tidak akan menguras laut jika perahu-perahu nelayan pulang membawa senyuman.

Aku tidak akan, sungguh aku tidak akan hanya diam. Aku tidak akan berpangku tangan. Tidak akan hanya menghayal, tidak akan hanya membual. Aku tidak akan hanya mengeluh, tidak akan hanya mengeritik. Tentu, aku tidak akan hanya akan kekasihku.

Dan bukankah telah kau saksikan betapa waktu selalu mengujiku, dan meleparkanku selalu ke persimpangan?


Jakarta, 2011
BACA SELENGKAPNYA

Traktat 06

DENGAN mengucap seribu terima kasih kepada para pemikir pendahulu, kepada Raja Ali Haji yang telah mempersatukan Nusantara yang tercerai-berai, dengan kata dan bahasa, maka aku mulai merangkai andai, meraut potlot untuk menggubah madah, lalu kutuangkan dalam kalimat yang liat, yang kusebut dengan traktat.

Inilah traktat itu, ialah kitab suci para nabi palsu, adalah undang-udang dasar para pendusta. Yakni sekelumit kalimat yang menggugat.

Pertama sekali, gugatan diajukan kepada diri sendiri, yang telah dan masih akan terus berjumawa-riya, untuk menggampar orang-orang takabur, karena sesungguhnya menyombongi orang-orang sombong ialah sedekah yang murah. Juga agar aku beroleh berkah, sekaligus perlindungan serta doa dari saudara sekalian, para pembaca yang budiman, supaya aku selamat di dunia dan akhirat.

Wahai pembacaku yang budiman, aku membutuhkan doa dan restu, karena tersirat firasat, traktat ini akan melahirkan kutukan resmi dari para pencela dan tukang tenung, sebab trakta ini nyata-nyata sedang menuding orang-orang linglung, menghujat aparat yang berbuat laknat, mencubit prajurit yang menyerupai jin iprit, menjotos politikus yang mulutnya bau kakus, mendamprat birokrat yang bejat, meneror diktator yang melahirkan koruptor, dan lain seterusnya.

Kepalang tanggung, traktat ini juga akan menghajar mahasiswa dan santri, akan menggurui agamawan dan ahli sejarah, juga akan menyunat oknum.

Terakhir, traktat ini adalah ungkapan perasaanku kepada-mu, sebagai apapun. Bila kau tempatkan aku sebagai orang gila, maka aku akan mencintai-mu dengan segala kegilaanku. Bila kau pandang aku sebagai musim semi yang syahdu, maka dengan semangat musim semi aku akan mencintai keseluruhan-mu.

Wahai pasanganku, pengantinku, penglimaku yang bermata mutiara, yang selalu memikat bila berbalut serba-cokelat, segeralah mengungsi ke ruang batinku, sebelum traktat ini aku ledakkan di tengah kerumunan monyet, himpunan babi, dan komplotan tikus yang tengah mengibar-ngibarkan panji syahwat sambil menghunus kelaminnya. Keonaran akan segera dibalas dengan keonaran traktat ini.

Kini aku mencangkung, berkacak pinggang, siaga di siang yang sempurna. Telangjang dan setengah kesurupan. Segera akan kusulut sumbu spirit, supaya traktat ini meledak sedahsyat bom atom Hirosima - Nagasaki. Tunggulah, serpihannya bakal mencerca, menjejalkan pengertian bahwa Yang Maha Ajaib masih mengendalikan matahari, menguasai laju air dan angin, melindungi komodo dan buaya, bahkan membiarkan setan berkeliaran. Kerumunan itu, himpunan itu, komplotan itu, akan segera sadar bahwa mereka tiada lain ialah setan alas.

Kekasihku, panglimaku, betapa aku mencintai-mu sampai-sampai aku selalu ingat diri-mu lahir pada warsa yang membuka babak-babak paling biadab dalam sejarah kitab-kitab. Cintaku, kau lahir ketika Pancasila dinyatakan sebagai asas tunggal yang lebih suci dari Quran atau Inzil, dari Veda maupun Bagavadgita. Tetapi dalam praktiknya, kesaktian Pancasila toh kalah oleh orat-oret kode buntut.


Jakarta, 2009

notice:
traktat nomor 8 ini masih akan direvisi, saya belum merasa sreg sepenuhnya, ide sadang stagnan. Saya akan menjadikan traktat no 8 ini sebagai preambule dari keseluruhan traktat yang sudah dan hendak kuselesaikan, sehingga mencapai 99 judul.
BACA SELENGKAPNYA

Traktat 05

Benarkah ada satu harga yang mesti kita bela? Apakah itu?

Siang tidak pernah menghardik sekalipun terik mencekik. Perasaan yang murung membuat segala terasa menyiksa. Aku jadi gelisah. Pada keraguan yang menggenang, aku merenung ulang. Apa benar aku harus menjadi pembela ketika semua yang harus dibela sudah tidak membutuhkan pembelaan, ketika orang yang membutuhkan dukungan menolak ungkapan perhatian karena takut dicap oportunis?

Ini sama mengerikannya sekaligus menggelikannya dengan seseorang yang mengaku pembela Tuhan, tetapi kemudian menjelma sang tiran atas nama kebenaran. Aneh, karena sesungguhnya Tuhan lebih pandai bela diri.

Sore lingsir, dan terasa begitu tergesa jadi petang. Di hadapanku seorang kurator (istilah kurator sebaiknya diterapkan dalam seni rupa saja), yang cukup melintang, melanglang lebih dari 20 tahun, dengan khusyuk menakar kaidah estetika, tentu tidak ketinggalan terlibat bersengkarut dengan orang-orang linglung yang saling-silang, setelah lelah berkisah tentang untung atau utang yang belum rampung, coba menghiburku dengan kebijaksanaan kuratorialnya, coba menjelas-tegaskan, lalu mengusulkan jawaban justru dengan mengajukan pertanyaan: Apakah Anda pernah mengukir sebentuk nilai di sebalik mimpi? Itulah yang mesti kita bela!

Seperti ketua umum partai politik menjelang pemilu, aku tambah gelisah. Sepi rajin menjenguk batinku. Begitu malam tiba, segera aku menyusup ke ceruk kesunyian. Aku murung. Muram. Mataku lebih kelam dari kali Ciliwung. Tapi aku tetap manusia, sehingga aku bertanya, adakah yang berkenan menjadi pahlawan untukku?

Aku hanya merasakan ada getar yang memberikan jawaban, jawaban yang belum menghiburku: laut menderu, menegurku dengan ombaknya, gunung membisu, menegurku dengan diamnya, angin berseloroh, menegurku dengan pengembaraannya, dan kau menegurku dengan sikap yang tegas: Tidak ada ruangan di batinku untuk-mu berlindung hai anak malang.

Aku linglung. Benar-benar bingung. Pergi ke jalan, jalanan telah dikepung para pembohong. Bahkan aku begitu bodoh membedakan mereka yang mengibarkan panji-panji di jalanan, apakah mereka itu orang partai, pendukung kesebelasan Persija, atau Front Pembela Agama?

Jalanan jadi macet, membuat penat dan otot mengerut. Aku ingin bertobat dari rasa penat. Maka aku melawat ke rumah ibadat. Di rumah ibadat, kudengar ulama sedang berkoar-koar, bahwa musuh Tuhan telah merajalela: Barangsiapa yang tidak se-ikhwan, boleh disembelih. Barangsiapa yang tidak menunaikan zakat, dapat disikat. Lalu setelah itu, ulama itu, mengeluarkan kuitansi honorarium yang harus dibayar oleh umat. Bajingan!

Aku pergi ke rumah bordil, di sana kudengar para politikus sedang bersabda tentang Yesus yang menyayangi para pelacur. Dan mereka berujar, semua partai adalah pengkhianat rakyat, hanya partai kami yang paling benar, memberi restu kepada para penjaja cinta. Lalu setelah itu, mereka buktikan ucapannya: Memborong cinta di rumah pelacuran. Oh!

Lalu aku coba pergi ke hati-mu. Namun tidak dapat kujangkau.

Aku bukan Muhmmad yang sebatang kara sejak belia, bukan Yesus tanpa pendamping, bukan Hidir tanpa santri, tapi aku merasa sendiri, melawan angin dan entah apa. Tiba-tiba tubuhku gemetar, hatiku tergetar, aku pun berteriak begitu pekak, sekarat laksana ternak digorok: Aku ingin berbuat baik, tidak untuk orang lain, untuk diriku belaka.

Subuh jatuh, fajar berkibar, aku terus berkoar-koar di trotoar. Tiba-tiba aku bertemu Friedrich Nietzsche, dan ia menyapaku dengan begitu santun: Hai Doddi, Tuhan telah mati! Berhentilah berkoar-koar mewartakan kebaikan yang sudah atau masih ingin kau tunaikan. Betapa lugu kamu: Karena sesungguhnya tidak ada yang namanya kebaikan itu. Kebaikan yang dikoar-koarkan tidak lebih dari kejahatan yang disembunyikan.

Jakarta, 2009
BACA SELENGKAPNYA

Traktat 04

Kau marah kepadaku, juga ibuku, ibu kita Kartini, Sarinah, Femina, Dewi, ketika kupukul rata semua perempuan cenderung menjadi pelacur sedang lelaki selalu ingin menjadi nabi palsu. Lihatlah dalam-dalam ke dalam kenyataan, diterpa angin peradaban yang berhembus buas, bendera perasaan-mu berkibar-kibar telalu kencang, hingga robek bagai dicabik-cabik. Perasaan-mu jadi tidak berbentuk. Pernyataan ini membuat-mu marah dan menudingku sinting, bukan?

Kenapa manusia sudah begitu kasar lagi keblinger.

Ibuku ikut-ikutan marah: hey anak yang susah diatur, pergilah ke rimba belaka, ke hutan kemungkinan, kau hidup terlalu bersandar pada kata ‘mungkin’. Tiada tempat dalam kekinian untuk mereka yang berpikir mungkin. Pergilah ke alam mimpi, di situlah dunia yang adil untuk-mu.

Ibu, aku menyayangi-mu, maka salamat tinggal: aku hijrah ke negeri mimpi.

Cinta, aku juga menyangi-mu. Maka selamat tinggal, moga kesejahteraan dan kebahagiaan selalu menyertai-mu. Aku mencintai-mu sampai berdenyut-denyut di dalam ubun-ubun, terbawa-bawa ke dalam tidur, walau aku sadar perasaanku ini mungkin tertuju ke alamat yang keliru.

Aku mencintai-mu. Bahwa tentu hal itu akan kutunaikan dengan sepenuh harap, juga dengan keniscayaan, bakal kuasah terus-menerus hingga mengkilap, memancar, berkobar-kobar, menerangi mereka yang meraba-raba dalam gulita. Sesungguhnya manusia yang paling buruk di muka bumi ialah yang telah punah marwah, patah gairah, lindap harap. Gelap!

Juga aku mencintai-mu dengan suatu tekad bahwa setiap penduduk bakal memiliki jaminan kepastian bisa mewujudkan cita-citanya, juga cintanya, juga dengan kemestian bahwa setiap dalil yang disabdakan harus ditopang oleh alasan yang waras, dan atau bahwa setiap ucapan para politikus umumya asal ucap.

Dengarkanlah secara seksama, mereka berpidato di mimbar tentang memelihara persatuan dan kesatuan tanpa menguraikan metodanya, atau menjamin harga sembako bakal turun tanpa analisis yang memadai. Apakah kau sepakat mereka yang sedang mengiklankan harga dirinya itu ialah pelacur?

Kini aku berjalan dan terus berjalan hingga mendekati daerah mimpi. Oh, betapa aku kalut dan tersulut oleh pamphlet penyamun, pencoleng, penggarong, penculik, perampok, perompak, penipu, penjagal rakyat, yang tiba-tiba mengaku menjadi nabi, tanpa pernah bertobat, tanpa pernah menyatakan telah menjadi mantan mantan penyamun, mantan pencoleng, mantan penggarong, mantan penculik, mantan perampok, mantan perompak, mantan penipu, mantan penjagal rakyat, dan dengan suara bulat lagi berat mereka berkampanye: Di tangaku ada kunci untuk membuka pintu sorga, berjemaahlah dalam barisan partaiku!

Orang-orang tengah mengabiskan rasa penasaran yang berlebihan, bahwa mereka bakal bisa menyulap kekeruhan jadi air jenih, suci dan murni, sejuk nan teduh. Tapi bagaimana aku bisa percaya kalau mereka tidak pernah menyatakan bertaubat, insyaf dari kebiasaan menyamun, mencoleng, menggarong, menculik, merampok, merompak, menipu, menjagal rakyat?

Kini aku telah sampai di negeri mimpi. Ibu, ternyata penghuninya sama saja: Orang-orang menghabiskan rasa penasaran dengan harapan yang membuncah-buncah, bahwa benih yang mereka tanam kelak berbuah kebajikan. Orang-orang dengan terang-terangan mengaku telah menjelma jadi seorang narsisus yang agung. Apakah mereka juga menduga si narsis itu ialah Rasul Akhir Jaman?

Aku menjerit, memaki, lalu mencela kesana kemari, dan seperti domba muda gemar mengasah tanduk, kuhajar orang-orang liar itu dengan suatu seruan: Hey pelacur, berapa harga-mu?

Mereka marah. Menggamparku. Aku pingsan bertahun-tahun.

Kini aku siuman. Lalu aku melihat-mu, tapi hanya melihat-mu, sebab aku tak bisa lagi berkata-kata. Aku hanya melihat-mu, melihat pohon tumbuh tidak tergesa-gesa, air mengalir ke hilir, anjing berbahagia bila bisa setia kepada majikan, namun kucing berbahagia bila bisa mencuri, sedang aku berbahagia karena bisa mengirimkan perasaanku kepada-mu dengan harapan, moga tidak salah alamat.

Jakarta, 2009.
BACA SELENGKAPNYA

Traktat 03

Jika mereka-mereka saja bisa, tentu aku juga bisa bernyanyi. Para politikus dan calon legislatif telah bernyanyi dengan janji-janji palsunya, birokrasi telah bernyanyi dengan rencana-rencana korupsinya, anggota majelis ulama telah bernyanyi dengan hadis-hadis palsu dan fatwa-fatwa yang menyesatkannya.

Kali ini semua orang bernyanyi untuk mengusir sepi yang datang bagai penyihir berwajah buruk lagi menakutkan. Bocah-bocah baru melek saja sudah pandai bernyanyi dengan merdunya: aku kesepian justru di tengah keramaian.

Maka aku pun selalu ingin bernyanyi. Menyanyikan cinta tentunya. Tetapi apakah yang dinamakan cinta? Chairil Anwar salah mengeluarkan sabda: ini kali tak ada yang mencari cinta. Kutulis traktat ini untuk mengoreksi kesalahannya: kali ini justru semua orang begitu keranjingan mencari cinta. Mereka pergi ke mall, mengintip di sudut petang, pergi ke warnet membuka facebook, atau mengungsi ke kamar sambil mengoperasikan blackberry, untuk mencari sepenggal cinta. Suatu yang juga aneh, orang-orang pergi ke kuburan atau ke dukun, guna mendapatkan cinta.

Chairil memang salah, ia mengeluarkan fatwa: aku ingin merdeka dari segala cinta. Ketahuilah, orang-orang justru ingin dijajah oleh cinta. Ingin berdarah-darah demi cinta. Dan dengan lugunya, karena dikira kami dungu, mereka berujar: aku mencintai kalian, karena itu, cobloslah aku.
Lalu seperti biasa, aku merenung di pergantian tanggal. Aku begitu menyukai suasana di saat-saat menjelang perubahan, perubahan apapun. Aku pun perlu mengubah sisat perasaanku. Dulu-dulu, atau mungkin kemarin-kemarin, aku adalah orang yang begitu mencintai-mu, mencintai takdir sekalipun menyakitkan. Sekarang-sekarang, aku ingin menjadi orang yang netral saat berhadap-hadapan dengan-mu, sebagaimana laut selalu menjadi ibu kandung yang netral untuk seluruh ikan yang diasuhnya. Aku akan menjadi laut jika kau menempatkan diri sebagai ikan. Namun ketahuilah, laut juga berubah.

Orang-orang juga telah mengubah perasaannya. Kemarin-kemarin, orang-orang akan begitu malu bila dituduh miskin. Sekarang-sekarang, orang-orang justru dengan bangga mengaku miskin demi mendapatkan Bantuan Tunai Langsung. Dan para pemberi pengakuan palsu itu, sebagaimana juga calon legislatif palsu, atau ustad palsu, kemudian bernyanyi dengan merdunya: Tuan, bersedekahlah kepadaku, sebagaimana Nabi bersedekah kepada umatnya.

Maka kuulangi lagi sebuah kalimat yang entah pernah diucapkan atau dituliskan oleh beribu pemikir: Menghadapi pengemis, sungguh aku benar-benar jengkel. Memberi aku jengkel, karena seperti kata-mu, itu tidak mendidik. Tidak memberi juga aku jengkel, karena seperti Nabi, aku rajin berkoar: hey orang-orang, berdermalah untuk mematangkan rencana-rencana besar. Sebuah perencanaan yang agung harus diberangi dengan jiwa yang agung. Adapun jiwa yang agung, selalu yakin, tangan yang di atas lebih baik dari tangan yang di bawah.

Jakarta, 2009
BACA SELENGKAPNYA

Traktat 02

Lalu kuputuskan berlibur ke timur, tidak untuk melupakan kiblat, juga bukan untuk meninggalkan solat, semata karena ingin lebih cepat menyongsong fajar. Aku juga ingin mengungsikan perasaanku ke hutan, supaya bisa bercengkrama dengan monyet yang sesungguhnya. Aku jengah di kota, linglung di belantara beton, muak pula diteror monyet-monyet yang wajahnya terpampang pada baliho, pada spanduk, pada poster, pada stiker, pada pamplet, pada reklame, pada koran, pada kaos oblong yang melekat ketat memamerkan lekuk tubuh sintal. Aku benar-benar terteror, maka kulayangkan pertanyaan ini: Kamu bukan monyet toh?

Ternyata di timur aku tetap terbentur, tidak bisa tidur, bangun kesiangan, dan nyaris lupa ingatan. Ini hari apa, tanggal berapa? Menjelang sepenggalah aku mandi dengan perasaan yang sangat tawar, perut lapar, lalu berjalan tanpa peta, dengan mengusung rasa murung yang menggila, rasa muak yang akut, rasa benci yang berlebih, namun akhirnya berubah jadi rasa iba yang tiada tara, manakala tatapanku tertumbuk pada papan reklame dengan kata-kata yang sepertinya ditulis oleh kelamin. Ini reklame yang senada, ada di mana-mana.

“Cobloslah aku, dijamin puas, semalaman cumun Rp1.000. Cobloslah generasi muda yang berani dan tidak munafik, yang lantang dan siap telanjang,” demikian bunyi kampanye pelacur cantik, belia, berjilbab warna partai.

Kutatap lekat-lekat pelacur belia itu. Aku jadi berdebar-debar, ser-seran, diserang birahi yang memusingkan. Aku memekik lalu berteriak: Baiklah, aku akan mecoblos-mu, mencoblos kebahagiaan semu, mencoblos janji-janji palsu, mencoblos harapan kosong, mencoblos hayalan yang jelas-jelas tidak akan terbukti.

Aku sedih. Betapa nestapa ada di mana-mana. Mungkin di hati-mu sedang bergemuruh, juga di hatiku. Di timur aku mabok karena telalu banyak ditawari kata-kata. Tapi aku lapar dan dahaga. Terpaksa kureguk kata-kata para pembohong yang sedang berdusta sekenyeng-kenyengnya. “Wahai rakyatku, aku ini keturunan Hidir, pewaris tongkat Musa yang syah. Aku sanggup mengusir kemiskinan hingga balik ke negeri asalnya. Tinggal membalikkan telapak tangan, harga BBM dan sembako akan runtuh. Syaratnya cuman satu: berikan suara-mu kepadaku!”

Benar saja, di mana-mana orang-orang sedang keranjingan berdusta. Keterampilan terbaik mereka saat ini ialah berdusta.

Tetapi di sebalik kesusahan selalu ada kemudahan. Di seberang keterhimpitan adalah keleluasaan. Di antara para pembohong yang berkeliaran, pasti ada seorang yang datang membawa kepastian, mengirimkan keteduhan, mengabarkan kebenaran. Dan kuharap, kamu tidak akan mendustai aku, bukan?


Ponorogo, 2009
BACA SELENGKAPNYA

Traktat 01

Juga setelah memeriksa ulang catatan tentang Tuhan, Tahun, Hutan, Hantu, dan orang-orang yang menggiurkan atau memuakkan, begitupun tentang segala kemungkinan. Kupelajari arah angin dan gelagat musim yang berubah drastis, kuukur suhu udara dan tekanan gravitasi bumi yang mencemaskan, kutimbang nilai sebidang tanah dan harga seliter air yang menjadi kabar terpercaya bahwa peradaban sudah tidak bisa dikendalikan. Tetapi aku merasa masih selalu belia, seperti dulu ketika mengagumi lembayung dan kunang-kunang, fajar dan pelangi. Juga kuhayati kata-kata-mu. Akhirnya aku membuat kesimpulan: aku hanya berhak menulis puisi.

Baiklah sayangku, aku akan menulis puisi saja, dengan suatu pertanyaan yang sangat naïf: benarkah takdirku hanya boleh menulis puisi ketika aku ingin menjadi Presiden atau Sekjen PBB, ketika aku ingin memetik bintang atau menggapai rembulan, ketika aku ingin memugar gunung atau membuat candi, ketika aku ingin melompat jauh ke depan atau melesat ke angkasa, bahkan ketika aku ingin mencintai-mu.

Maka kini aku harus berhadap-hadapan kembali dengan pemahaman tentang takdir, dengan ujian dari yang namanya takdir, dengan suatu kenyataan bahwa takdir terbaik untukku ialah bersabar.

Aku akan selalu belajar bersabar sayangku. Tetapi, aku tidak perlu minta izin dari-mu untuk jeda dari gemuruh perasaan, bukan? Aku tidak perlu minta persetujuan dari-mu untuk koma dari paragraf yang belum rampung kutulis, bukan?

Kekasih, tetapi sebagai orang awam aku akan bertanya kepada-mu tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh kuperbuat. Aku tahu, bukan saja boleh, tetapi menjadi keharusanku untuk mencitai kehidupan ini, mencintai setiap makhluk, mencintai kebaikan dan keburukan. Juga mencintai-mu. Tunjukkan kepadaku yang awam ini, di mana aku harus menempatkan diri, dan bagaimana aku harus menempatkan diri. Tunjukkan padaku arah langkah yang benar untuk kutempuh. Tunjukkan kepadaku cara-cara yang beradab untuk mencintai segala yang mesti menurut takdir, untuk kucintai.

Baiklah sayangku, kuterima kenyataan takdirku ialah aku hanya berhak menulis puisi. Maka inilah sepenggal puisi yang kutulis untuk-mu, kepada-mu: Aku cinta pada-mu.

Jakarta, Februari 2009
BACA SELENGKAPNYA
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...